[One-Shot] Tear

145 24 25
                                    

Author: aestechic (Ex-Member)

"Nenek bilang aku tidak boleh menangis.

Tetapi kata nenek ada tempat dimana aku bisa melakukannya.

Di toilet,

dan dipelukan papa."

---

Tear

WARNING: AU, OOC , contains of sad and angst. I hope i got that feels.

Aestechic proudly present, please enjoy it!

---

Hari ini sama dengan hari-hari sebelumnya. Aku bekerja keras melanjutkan usaha cafe ini dengan setengah hati. Ingin rasanya aku berhenti saja dan menutup cafe ini, tetapi aku tak bisa. Bayangan mendiang istriku selalu terbayang. Cafe ini, cafe yang aku dirikan bersamanya. Dari sekedar kedai kopi sederhana hingga menjadi cafe dengan pelanggan tetap. Aku mentap sekeliling, seluruh sudut cafe ini penuh dengan kenangan akan dirinya. Membuatku rindu dan sesak.

Aku baru berumur dua puluh tujuh tahun, memiliki usaha yang sukses seperti ini harusnya membuatku bahagia. Tapi percuma, kebahagiaanku telah lama direnggut paksa dariku. Menjalani hari-hari dengan hanya bekerja dari pagi hingga cafe tutup. Jika merasa suntuk aku menghabiskan uangku hanya untuk minum. Stres, aku butuh pelampiasan. Yang dapat membuatku melupakan kenyataan hanya untuk sesaat. Kenyataan bahwa aku bertemu dengannya, berkencan dengannya dan akhirnya menikah dengannya. Kenyataan itu tak lebih dari sebuah kesalahan.

Penat, aku keluar dari ruangan dan memantau langsung kinerja pegawaiku. Aku duduk di balik kasir dan melihat ke sekeliling. Suasana cafe cukup ramai, sampai pandanganku teralih ketika mendengar bunyi lonceng –pertanda ada pelanggan yang datang—dari arah pintu. Siluet anggun itu berjalan perlahan ke arahku. Lidahku kelu seketika ketika menatap sosoknya,

"Ibu.."

---

Hening, aku mengaduk kopi perlahan. Sedangkan Ibu menghirup aroma teh nya lama kemudian disesapnya. Kikuk yang aku rasakan ketika harus bertatap muka dengan Ibu. Tidak, dia bukan ibu kandungku. Ibuku sudah lama tiada, bahkan sebelum aku bisa mengingat wajahnya. Ibu yang di depanku ini adalah sesosok wanita yang sudah ku anggap sebagai ibu sendiri, Ibu ini adalah Ibu mertuaku. Ibu dari mendiang istriku.

"Sudah lama kau tak pulang," Ucap Ibu setelah meletakkan cangkir tehnya. Ia kemudian menatapku dan tersenyum lembut seperti biasanya.

Aku hanya dapat tersenyum simpul, "Tidak bu, aku tidak akan pulang ke sana."

Senyum ibu berubah, ia memandangiku miris. Ia terdiam sesaat kemudian disesapnya lagi teh yang masih hangat itu.

"Jika kau tak pulang, kami tak apa. Aku dan ayah Shia tidak mempermasalahkannya. Ibu sudah cukup mengerti, melanjutkan cafe ini tentu saja berat bagimu. Apalagi untuk pulang ke rumah," jelas ibu.

Disaat seperti ini lah aku merasa tak enak pada ibu. Ibu yang dahulu membuatku merasakan kasih sayang seorang ibu yang tak pernah kudapatkan. Aku tahu ia kecewa, namun aku tak dapat berkata apapun. Rasaku bisa mati jika kembali ke tempat itu.

"Jungkook, ibu hanya dapat berpesan. Jangan lupa untuk makan, jangan tinggalkan tidurmu, jaga kesehatanmu. Ibu tak ingin Shia mendatangiku dalam mimpi dan memarahi Ibu karena tak bisa memperhatikanmu sama seperti dia memperhatikanmu," pesan ibu.

Coffee MenuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang