[One-Shot] Kopi Hitam

76 8 0
                                    

Adeil011

Tittle: Kopi Hitam

Main-cast: Park Jimin (BTS)

Genre: Sad romance, Angst

Tema: Café

Ketidakmenyangkaan. Sekali Jimin tersadar, saat itu juga ia terluka. Saat ia ingin menyesap kopi hitamnya yang pahit, ia mendengar segalanya dari benda elektronik bergambar itu. Ia pernah bersumpah tidak akan mau mencoba kopi hitam, apalagi kopi espresso yang pernah dielu-elukan Hakyeon sebagai kopi terpahit. Perspektif Jimin dulu menjelaskan, kopi hanya meninggalkan rasa pahit, tidak ada kenikmatan. Tapi ia menelan ludahnya sendiri sejak setengah tahun silam. Setidaknya ia merasa lebih baik dari jutaan orang lainnya yang memilih depresi dengan cara meraung-raung meneguk air dari botol hijau tua yang terkutuk. Menyesap kopi pahit lebih baik dari meneguk soju, itu prinsipnya.

Jimin menutup matanya rapat, menajamkan rungu yang menjadi satu-satunya andalannya saat ini untuk memindai keadaan sekitar. Sayup-sayup perbincangan diantara para pelanggan seolah menjadi suara pengiring dalam hidup Jimin, mungkin selamanya. Pundak Jimin di tepuk dua kali, ia tak mau repot-repot membuka mata untuk menanggapi. Karena tak diperlukan memang. Orang itu duduk diseberang, mengucapkan hal-hal bodoh untuk membuat Jimin tersenyum seakan tak ada hari lain. Jimin jadi berpikir sesaat 'hubungan keluarga memang tak bisa lepas begitu saja'. Bibir Jimin seakan mengecil ketika ia berhenti mengeluarkan suara, dagu bulat Jimin menjadi sedikit berkerut karena hal itu.

"Kenapa berhenti?" ucap Jimin dengan nada menyebalkan, "Aku diabaikan, jadi ini sia-sia."

Ia sumber hidup Jimin, Cha Hakyeon namanya. Hanya berbekal saudara sepupu sebagai alibi hubungan mereka, lelaki yang lebih tua 9 tahun dari Jimin itu mengetahui segala seluk beluk hidup Jimin beserta kelahiran Jimin yang menyedihkan, menghidupi hidup Jimin hampir dari setengah umurnya. Jimin mendecakkan lidah berkali-kali, kepalanya menggeleng kecil. Ia hanya bisa duduk diam saat ini, Jimin yang saat ini berbeda 180 derajat,dulunya anakpecicilan tanpa ada kata penat yang keluar dari bibir. Hakyeon berdeham menginterupsi, berbicara dengan hati-hati takut Jimin tersakiti dengan segala ucapannya yang 'main keluar'.

"Masih ingat dengan hal itu?" tanya Hakyeon dengan perlahan, Jimin mendesah berat lalu menopang dagu dengan sebelah tangannya. "Well, sejujurnya iya. Aku yakin siapapun yang mengalami hal sama akan bertindak demikian."

Hakyeon terbahak hingga menganggukkan kepala dengan semangat, merasa setuju dengan segala ucapan Jimin. Hingga tawanya terhenti, Jimin khawatir akan itu. Ia khawatir nantinya Hakyeon malah memulai pembicaraan yang tidak-tidak, yang akan membuatnya terseret ke masa lalu lagi. Mengingat segala rasa sakit tak berujung yang ia punya, kecacatan bukan satu-satunya alasan bukan.

"Jim, bagaimana kau hari ini?" pertanyaan pribadi namun sangat mengena untuk Jimin, Jimin membuang muka asal, ia kesal pada Hakyeon, benar. "A-ah, sudahlah. Tak usah di jawab, aku ingin ke belakang dulu mengurus karyawan baru yang akan datang hari ini."

Hakyeon pergi terbirit memutari etalase kaca berisi bermacam makanan ringan, seketika Jimin kembali merasa sepi. Padahal dulu ia begitu menyukai tempat yang saat ini ia diami, aroma kopi yang memikat, alunan musik café yang membuatnya ikut menari, para pelanggan yang memuji keramahan serta eyes smile-nya. Ia rindu segalanya.

Sementara hati Jimin yang bergumul dengan situasi, ingatannya malah ikut kembali ke belakang. Mengingat kedilemaan-nya setengah tahun lalu, saat ia genap berusia 20. Hari itu ada seorang gadis belia yang mungkin terpaut 3 tahun di bawah Jimin, Jimin sangat mengenal gadis itu sejak ia ikut membantu bisnis kakak sepupunya, setidaknya menjadi pelayan sudah membantu ucap Hakyeon dulu. Jika diingat, ia sudah mengenal gadis itu saat usianya menginjak angka 13, mengaguminya dalam radius jauh dan terkadang berlagak menjadi pelayan yang menawarkan 'menu spesial hari ini'. Awalnya sang gadis datang bersama kakak lelakinya, namun semakin lama ia merasa gadis itu kesepian karena sang kakak tak lagi menemani. Sejak itu Jimin mendekat ke arah kehidupan sang gadis, tanpa tahu resiko terburuk yang akan ia punya. Berbekal nyali nekat mengetahui nama si gadis adalah Ahn Jiwoo, Jimin semakin semangat mengejar.

Coffee MenuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang