Pernyataan Fadil

158 21 0
                                    

Fadil's POV

Kuberanikan diriku pagi itu untuk menyatakan perasaanku yang terdalam kepada Aqilah. Sepanjang malam, aku berlatih cara menembak wanita bersama sang ahli, Raffi. Well, ternyata seruang dengannya tidak selamanya buruk. Dia bisa diajak berkompromi--untuk hal-hal seperti ini. Dia pun tidak keberatan tidak tidur untuk mendengarkan aku berlatih sampai subuh.

"Jadi... Aqilah, maukah adinda menja-"

"Cutttt! Bahasanya itu looh!! Lebuayy.. Ulang yaa, take 23."

***

"Aqilah.. Gue mau ngomong sama elo nih." Kataku sambil menjentik-jentikkan jari untuk mengurangi rasa gugup.

"Cutt!! Adohh, tangannya kok gitu sih, kayak ga serius gitu. Ulang! Take 31.

***

Sampai akhirnya...

"Perfect! Sempurna! Akhirnya take ke-50, berhasil!"

Senyum pun mengembang menghiasi wajahku.

Itu adalah sepenggal rehearse kami semalam. Take ke-50 sudah sempurna, tapi apakah aku akan sanggup menghadapi ujian yang sesungguhnya?

"Aqilah... Bisa ngomong berdua sebentar?" Tanyaku kepada Aqilah yang membuat kedua alisnya menyatu karena keheranan.

"Tapi, kan-"

"Iya, gue udah tau." Potongku. "Sebentarrr aja. Ciyus." Kataku sambil membentuk jari tangan berbentuk huruf V. Aqilah mendengus.

Dia berpamitan dengan teman-teman wanitanya dan mengikutiku menuju taman di sekitar pesantren.

"Jadi, lo mau ngomong apa, Dil?" Tanya Aqilah tak sabaran sembari duduk di bangku taman.

Kata-kata yang sudah tertanam dalam pikiranku langsung buyar. Dengan tergagap-gagap aku menjawab, "Jadi, gi-gini, Qil, gu-gue..."

"Ngomong yang jelas dong." Kata Aqilah berkomentar.

"Gue suka sama lo." Kata-kata itu meluncur cepat. Tak banyak basa-basi seperti yang kami--aku dan Raffi--latih semalam. Sebuah kalimat, yang hanya terbentuk dari kata-kata sederhana.

Aqilah tertegun.

"Gue gak bisa." Katanya setelah otaknya mampu memproses kalimatku tadi. Jantungku rasanya hampir mau copot mendengarnya. Yah, sudah kuduga dia pasti akan menolakku, tapi rasanya hati ini tetap tidak dapat menerimanya.

"Tapi, kita tetap bisa jadi sahabat kan?" Tanya Aqilah, yang berusaha untuk tersenyum, walaupun mata tak bisa berbohong, bahwa dia masih kaget dan tak enak hati akibat jawaban yang dia lontarkan.

Aku pun memaksakan senyum. "Tetap sahabat." Jeda, sampai aku berkata, "Yuk balik."

Sepanjang jalan menuju pesantren, aku dan Aqilah tak ada yang berani membuka pembicaraan, sampai ketika memasuki gerbang pesantren, Aqilah buka suara.

"Dil, gue boleh minta tolong."

"Apapun."

"Gue punya sepupu, yang waktu itu berkunjung ke sini, lo masih ingat, kan?"

Aku berpikir keras sampai akhirnya kilasan ingatan itu muncul di benakku. Seorang gadis, sebayaku, dengan rambut yang tampak baru di-blow kala itu mengunjungi pesantren kami. Ternyata itu sepupunya Aqilah.

"Inget."

"Nah, sebenarnya... dia suka sama lo, Dil."

Kenyataan apa lagi yang harus kuterima?

Aqilah melanjutkan, "Tolong, nanti setelah lo lulus, lo jaga dia, ya. Lo jadi temen dia di kampus nanti. Bisa, Dil?"

Aku masih mengolah kata-katanya. Setelah Aqilah nolak gue, dia malah suruh gue jagaan sepupunya? Gitu?

Aqilah buka suara lagi. "Demi gue." Tambahnya.

Mendengarnya, sontak aku langsung berkata, "Ya."

***

"Loh, tumben ga solat lo, anak soleh. Eh, btw, gimana tadi," kata Raffi ketika mendapati diriku tiduran di atas ranjangku. "sukses?" Sambungnya.

"Nihil." Jawabku singkat.

Raffi ber-oh pelan. Wajahnya ikutan murung. Tapi, aku rasa, dia bukan sedih gara-gara turut melihatku sedih, tetapi karena teknik menarik hati yang diajarnya gagal 100%.

Aku jadi teringat penggalan lagu yang semalam kami dengar. Ya, lagu Jatuh Hati milik Raisa.

Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu
Tapi bolehkah ku selalu di dekatmu

Tapi bolehkah ku selalu di dekatmu, Aqilah?

HEARTBREAKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang