Ketemu Mama

179 11 8
                                    

Keadaan makin tak terkontrol. Jantung ini berdetak lebih kencang, mata-mata kepo yang melihat secara langsung ke arahku, dan tatapan Fadil yang menusuk tajam dan semakin dalam ke dalam pikiranku. Segera aku mengangkat bokongku dan berdiri, berjalan ke pemilik warteg serta memberikan selembar uang Rp50.000 kepadanya. Tanpa menunggu kembalian, aku berjalan ke mobilku dan berencana untuk membukanya dengan remote. Tapi tunggu, kunci beserta remote-nya tertinggal di meja! Aku mengutuki keteledoranku. Malu-maluin dong kalau misalnya sudah keluar tapi ujung-ujungnya balik lagi gara-gara lupa kunci mobil! Tapi mau gimana lagi?

Aku pun membalikkan tubuhku, hendak berjalan masuk ke warteg itu, ketika kulihat Fadil berjalan ke arahku sambil menggenggam kunci mobilku--atau yang lebih tepatnya kunci mobil Papa. Dia menekan remote-nya dan terdengar bunyi bip 2x yang tandanya mobil sudah tak terkunci lagi. Aku masih terpaku ditempatku berdiri, menunggunya memberikan kunci itu kepadaku, ketika kusadari dia sudah melewatiku dan berjalan lebih dekat ke mobil. Aku memicingkan mataku melihatnya. Dia membuka pintu dibagian pengemudi dan berteriak, "Mau masuk, gak?"

Aku mengelap mataku dengan punggung telapak tangan kemudian berkata, "Itu mobil gue, ngepain lo masuk?" Kataku sambil mendekat. Aku baru menyadari bahwa sekarang Fadil sudah jauh lebih tinggi dibandingkanku, berbanding terbalik ketika SMP dulu.

"Mobil bapak lo." Ralatnya. "Plus, gue aja yang anter lo pulang."

Hah? Gue gak salah denger?

"Ngepain lo anter gue? Ga ada yang minta lo jadi supir gue!"

"Coba lo liat." Tunjuknya ke arah depan dan belakang mobil ayahku, "di depan ada motor, belakang ada mobil. Emang lo bisa ngeluarin mobil lo dari parkiran dengan keadaan kayak gini? Gue yakin ga bisa!"

Dan memang tak bisa. Batinku. Tapi bukan berarti dia yang anter gue kan???

"Dibisa-bisain kan bisa" protesku.

"Cepetan masukk," katanya tak mengacuhkan perkataanku. "Sebelum gue pergi duluan naik mobil lo."

Mau tak mau aku pun menuruti perkataannya. Tak mau duduk bersampingan dengannya, aku pun berjalan ke pintu bagian belakang dan duduk di baris kedua.

"Lo bener-bener jadiin gue supir, ya?" Katanya sambil kedua matanya melihat kearahku melalui kata spion.

"Ya."

"Ck."

***

Sepanjang jalan kuhabiskan waktuku untuk mengelap air mataku dengan tissue yang tersedia di mobilku. Kami tak bicara sepatah kata pun. Fadil sibuk dengan jalan ibukota, yang saat itu tengah macet-macetnya. Dia tampak sesekali mendumel pelan lalu mencari-cari jalan menyelip kendaraan lain. Tapi mobil tak segampang motor, kan? Tiba-tiba, perut Fadil berbunyi. Baru kusadari, Fadil belum tadi. Aku jadi tambah tak enak hati. Akhirnya, aku pun berkata, "Nanti lo makan di rumah gue aja. Lo nampaknya laper banget, sampe perut lo pun bunyi-bunyi gitu."

Fadil hanya diam, tak menjawab, yang kuartikan sebagai tanda persetujuan.

***

"Masuk!" Jeritku dari dalam rumah, ketika kulihat Fadil masih berdiri di ambang pintu. Akhirnya, dia pun masuk.

"Harusnya Mama gue udah masak," kataku, lebih kepada diriku sendiri. "Nah, bener kan!" Di balik tudung saji, sudah tersedia kari ayam yang tampaknya enak. Kalau aku belum makan, pasti kari ayam itu sudah jadi target makananku.

"Nyokap lo mana?" Tanyanya ketika berjalan memasuki dapur.

"Biasa, ibu-ibu rumpi. Kalau gue mah ngerumpi di LINE." Candaku. "Makan deh lo. Nasinya itu di rice cooker." Kataku sambil menunjuk ke arah rice cooker. "Ga usah sungkan-sungkan. Ini juga sebagai permohonan maaf gue atas ucapan gue tadi." Kataku tulus. "Tapi besok-besok jangan kesini kalo mau cari makan. Gue yakin lo pasti kepicut dengan masakan nyokap gue."

"Hmm." Jawabnya singkat.

"Siapa di rumah? Nisa, yaaa?" Jerit suara yang sangat familiar. Suara Mama. Tahu-tahu, Mama sudah nongol di depan pintu ruang makan rangkap dapur itu. "Eh, ada orang." Kata Mama saat melihat Fadil. Fadil cepat-cepat berdiri dan menyalami Mamaku. "Iya, tante. Nama saya Fadil."

"Fadil tadi anterin Nisa pulang. Nisa sih, bawa mobil Papa ke warteg, pas mau keluar dari parkiran, malah ga bisa. Untung ada Fadil." Kataku setengah berbohong.

Mamaku ber-oh ria. Dari sorot matanya, tampaknya mamaku suka dengan Fadil.

"Fadil yang tadinya mau makan, ga jadi makan deh." Sambungku.

Sekarang mama buka suara. "Yaudah, nak Fadil. Makan gih. Makanan tante enak loo."

"Iya, tante."

"Nisa, ikut Mama ke ruang tamu."

Mati aku! Pasti kena marah habis-habisan gara-gara bawa cowok ke rumah!

"Ada apa ma?" Kataku setelah sampai di ruang tamu.

"Nis, kan kamu tahu kalau gak boleh sembarang bawa orang ke dalam rumah. Apalagi cowok." Ceramah Mama.

"Iya, Ma. Maaf." Kataku sambil menundukkan kepala.

"Btw, si Fadil itu siapa kamu?" Tanya Mama jahil.

"Ish, apaan sih!" Kataku.

"Lah, kan mama cuma nanya."

"Temen."

"Ohhhh, temeennnn."

"Ish, Mama." Kataku sambil menyenggol lengan Mama. "Jangan gitu ih. Dia udah punya pacar loo."

Tiba-tiba terdengar suara kaki berjalan mendekat.

"Tante, Nisa, saya pulang, ya?" Kata Fadil sopan.

"Naik apa?" Tanya Mamaku. Dasar Mama kepo deh, batinku.

"Naik transjakarta, angkot, atau apa aja. Gampang kok, tan." Jawabnya sambil tersenyum.

"Udah, sini tante anterin aja."

"Ga usah tante.. ga usah."

"No..no." kata Mama sambil mengoyang-goyangkan telunjuk tangan ke kiri dan ke kanan, "Ga boleh nolak. Yuk! Nisa ikut juga."

Ini. Bakalan. Jadi. Hari. Yang. Panjang.

================================
Usus buntu, eh maksudnya otaknya yg buntuuuu 😢😢

Jngn lupa vomment, ya guys.

Btw, ini cover buat Elxar_Cisa semoga asam asetat (cuka) #garing

Paymentnya jgn lupa 👍

HEARTBREAKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang