Pindah

163 19 7
                                    

Nisa's POV

-Kembali ke masa sekarang.-

Belum sempat aku mencerna kata-katanya sebab tiba-tiba dari meja yang tak berapa jauh dari meja kami, terdengar bunyi peralatan makan jatuh. Aku dan Adam refleks melihat ke arah itu. Dan dia .....

"Bagus?" Kataku dan Adam secara serentak.

"Eh, h-hai." Jawabnya tergagap-gagap. "Anggap aja gue ga ada. Lanjutkan..."

Aku dan Adam memutar bola mata kami kompak. Tapi sebenarnya, aku sangat, sangat, sangat berterimakasih pada Bagus. Karena berkat kehadirannyalah aku bisa menghindari, atau paling tidak menunda jawabanku terhadap pernyataan Adam itu.

***

Adam mengeluarkan mobil dari parkiran dan memacu akselerasi mobilnya dengan kecepatan tinggi menerobos jalan ibukota yang sedikit lebih sepi dari biasanya. Aku hanya bisa terdiam dan berharap Adam lupa kejadian tadi di café. Namun harapan itu lenyap ketika Adam mulai buka suara.

"Jadi... gimana?"

Aku hanya terdiam dan tak berani menatapnya bahkan dengan ekor mataku sekalipun.

"Lo cuma punya 2 pilihan," katanya serius. Aku bisa merasakan tatapannya yang tajam tepat kearahku walaupun aku tidak melihatnya.

"Satu, lo terima gue. Atau dua--" Adam memberi jeda 2 detik.

"--lo gak tolak gue." Sambungnya sambil terkekeh.

Aku terkekeh mendengarnya. Adam sudah kembali ke sifat yang sebelumnya. Aku pun sudah berani menatap lurus ke arahnya.

"Atau aja deh," jawabku sambil tertawa.

"Yahh, lo dicandain dikit langsung menjadi-jadi." Kata Adam sebal.

"Yaudah, kita jalanin aja dulu." Jawabku pelan, nyaris tak terdengar akibat suara klakson mobil belakang. Tapi yang kutahu, Adam sudah mendengarnya, sebab senyum simpul terhias di bibirnya.

Tak berapa lama setelahnya, aku sudah sampai di rumah tercinta. Adam keluar dari kursi pengemudi dan bergegas untuk membukakan pintuku, namun sayang, aku sudah membukanya sendiri.

"Ga usah lebay, deh, Dam." Kataku kepadanya. Adam mengusap-usap pelipisnya dan masuk kembali ke bangku pengemudi. Dia memacu kendaraannya dan berhenti tak jauh dari rumahku. Yap, rumahnya. Aku menunggunya sampai dia selesai memarkirkan mobilnya, baru masuk ke dalam rumahku.

Baru masuk ke dalam rumah, aku mendapati hawa yang tidak enak. Mama, Papa, dan Nasim, duduk di ruang keluarga, ketiganya terdiam. Wajah Nasim merah padam, begitupun Papa. Hanya Mama yang menyadari kepulanganku, lalu berkata, "Eh, Nisa... Udah pulang,"

"Iya, Ma, ada apa ini?" Tanyaku buru-buru.

Mamaku tersenyum, tapi kau tahu? Mata tak bisa berbohong.

"Kalau Nisa capek, naik aja, bobo. Besok baru kita bicarain la-"

"Sekarang aja, Ma." Potongku, kemudian mengambil posisi di kursi yang tersedia.

"Gini, Nis," Kali ini Papa yang buka suara. "Papa ditugasi untuk pindah, ke luar negeri. Jadi terpaksa--"

"--kita semua sekeluarga ikut ke sana." Sela Nasim. "Kan ga adil kan??! Ke tempat baru, oh, bukan tempat lagi. Ke negara baru! Adaptasi lagi, kenalan lagi!! Pokoknya aku GAK SETUJU!"

HEARTBREAKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang