Playboy

167 18 9
                                    

Kini, aku sudah berada di bangku penumpang disamping bangku pengemudi yang diduduki Adam. Di dalam diriku sudah bergejolak untuk memberitahukan dia yang sebenarnya, bahwa keluarga kami akan pindah keluar negeri. Tapi bibirku masih saja terkatup. Akhirnya, kuberanikan diri.

"Dam..."

"Apa Nis?"

"Ehhh... Makasih tadi udah bayarin yaa"

[FAILED]

"Oh.. Cuma mau ngomong itu aja ya.. Gak papa kali, kan kamu itu tanggung jawab aku."

Pipiku memerah. Kata-kata Adam itu gentle banget, pikirku.

Tak terasa perjalanan begitu cepat, tahu-tahu aku sudah sampai di rumah. Setelah berpamitan singkat dengan Adam, aku melangkah memasuki pintu depan rumahku. Ketika sampai di depan pintu, belum pun aku sempat membuka pintunya, tahu-tahu Nasim, abangku, sudah sampai. Seharusnya dia nganter pacarnya, kan? Kok cepat banget?

"Sim. Lo kok cepat banget?" Tanyaku setelah dia selesai memarkirkan mobilnya--mobil ayah kami sebenarnya. "Ngebut, ya?"

"Lo sama pacar lo itu kali yang lama-lamaan di jalan." Serunya yang disusul dengan tangan yang mendarat di depan bibirnya. Tangan itu tanganku.

"Diem napa. Nanti ketahuan Mama, bloon! Kalo sempat ketahuan, rahasia lo juga gue bongkar! If I burn, you burn with me!"

Nasim terdiam sebentar. Mukanya tampak sedih. Tapi kemudian cerah lagi. "Yaelah. Sok ikutin kata-kata Katniss di film The Hunger Games. Jauh lo sama dia. Dia cantik, lah lo..." Nasim tidak menyelesaikan perkataannya, tapi sudah pasti ketahuan apa yang akan dia bilang.

Aku memutar bola mataku. Karena terlalu malas dan capek berdebat dengan Nasim, aku pun mengabaikan perkataannya itu dan berkata, "Yaudah deh. Yuk, masuk." Aku menekan ke bawah gagang pintu dan hendak mendorongnya ketika Nasim menahanku.

"Aku mau ngomong sesuatu."

"Di dalam kan bisa."

"Tentang pacar lo itu. Lo mau ketahuan Mama?"

Akhirnya aku pun mengikutinya untuk duduk di bangku teras rumah.

"Mau bilang apa?" Tanyaku cepat.

"Lo mendingan putus aja sama dia."

"Apaan sih lo??!" Kataku setengah menjerit. Sekonyong-konyongnya bulu romaku bergidik, bukan karena ada hantu atau lainnya, tapi karena emosiku memuncak sampai ke kepala.

"Dia itu Playboy! Lagian kita kan udah mau pindah. Gue aja...gue aja udah putusin pacar gue."

"Hah?!" Aku kaget. Untuk kedua-duanya. Adam playboy dan Nasim putus.

"Tadi pas di mobil gue bilang. Dia gak terima, trus minta stop dan manggil taksi." Pantesan si Nasim cepet banget sampe rumah, pikir Nisa. Dan pantesan tadi pas gue bilang mau bongkar rahasianya dia tampak termenung.

"Lah, kalo lo mau putus, putus aja! Ga usah sampe buat statement kalo Adam itu playboy dong!" Kataku tak terima.

"Ini bener, Nis! Gue satu kampus sama dia. Dan wait..." Dia melirik ke rumah Adam, takut-takut ada yang menguping. "Gue baru inget kalo dia tetangga kita juga. Jadi bisa ga ngomongnya lebih santai ga pake jerit-jerit?"

Aku hanya mengangguk pelan.

"Nah, Nis. Kalo lo ga percaya, lo datang ke kampus gue besok, dia sering jalan sama teman cewek yang satu jurusan sama dia. Kali aja besok dia juga jalan sama tu cewek."

Aku cuma bisa terdiam.

"Yuk masuk." Kali ini Nasim yang mengajak masuk. Aku mengekori dia dari belakang.

***

"Shil.. Gue hari ini ga masuk ya. Jangan cari-cari atau nungguin gue di kantin."

"Kok ga masuk? Lo sakit, Nis??!! Gue jenguk ya."

"Gak kok. Cuma males ke kampus aja. Hehe. Lagian minggu lalu dosennya bilang kalo dia ga datang hari ini." Kataku berdusta.

"Dasar Nisa. Gimana mau lulus kalo lo aj-"

"Udah ceramahnya. Gue matiin ya? Bhayy~~" Kalau gak cepat-cepat dimatiin, ceramah Shilla bisa tambah panjang.

Aku sekarang sudah dalam perjalanan menuju kampus Nasim dan Adam. Nasim disampingku, sedang memfokuskan pandangannya pada jalan-jalan ibukota. Sesekali dia mendumel ketika sepeda motor menyelip secara tiba-tiba. Baru kali itu kulihat dia seserius itu.

"Nah, udah sampe." Katanya sambil membelokkan mobilnya ke kiri, kearah kampus itu. Kampusnya besar, sedikit lebih besar dari kampusku dan Shilla. Nasim mencari-cari parkiran sementara aku melihat penampilanku sekilas melalui kaca yang aku bawa. Gak buruk-buruk banget laa, pikirku.

Setelah memarkirkan mobil, Nasim masih duduk di bangkunya, begitupun aku. Dia melihat ke arahku dari atas ke bawah.

"Gak malu-maluin lo kok." Kataku.

Dia mengangguk kecil.

"Ready?"

"Aye aye captain"

Kami pun keluar dari mobil. Nasim berjalan di depan, aku pun mengekorinya dari belakang. Aku celingak-celinguk melihat kampusnya. Mahasiswa lain yang melihat aku turun dari mobil Nasim berbisik-bisik. Aku yakin, pasti nanti ada gosip mengenai putusnya Nasim yang disangkutpautkan dengan kehadiran seorang wanita "ketiga" yang sebenarnya adalah adiknya sendiriiii..

"Jadi, dimana Adamnya?" Sebenarnya aku sudah ragu dengan Nasim. Kata-katanya gak bisa dipegang. Tapi karena rasa ingin tahu merasukiku, aku pun mengemis-ngemis minta Nasim mengajakku ke kampus.

"Bisa sabar ga-" Nasim terdiam kemudian berkata dengan pelan. "Eh, itu dia. Sembunyi di balik gue."

Aku pun menurut. Dari balik badan Nasim aku melihat Adam sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita berjilbab sambil berjalan menuju gedung fakultasnya. Mukaku langsung merah padam saking marahnya. Aku langsung berlari ke arah Adam. Tak kuhiraukan Nasim yang menjerit memanggil namaku. Tak kuhiraukan juga orang-orang yang memandangiku dengan tatapan bingung. Sekarang yang kuharapkan adalah bisa cepat-cepat sampai di depan Adam. Dan harapanku kesampaian. Sekarang aku sudah berada di depan Adam dan gebetannya yang menatapku dengan pandangan bingung dan syok.

"Nis-"

Tepakk.

Tangan kananku mendarat tepat di pipi kiri Adam.

HEARTBREAKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang