"Tunggu Dik, aku gak paham?" ujar Firma. Aku kembali duduk di kursi makan yang kubawa sebelumnya.
"Aku tadi tidur habis dapet kunci apartemen jam tujuh pagi, sampai kamar langsung tidur. Terus, adzan dzuhur aku terjaga. Habis wudhu, aku mau ke masjid cuma gak tau masjidnya dimana. Eh gak sengaja saat turun dari tangga ketemu pak RT pake baju koko dan sarung. Niatnya tadi aku mau nyapa pak RT, tapi gak jadi."
"Kenapa?"
"Dengerin dulu!" ujarku sedikit sewot. Firma hanya mengangguk pelan. "Setelah sampai aku di masjid, aku langsung sholat di shaf ketiga, di sampingku ada anak kecil gemuk. Nah, ketika aku sedang berdo'a, anak kecil tadi jatuh. Yaudah, aku bersihin lukanya, terus dia lari ninggalin aku. Yaudah aku balik ke rumah ketemu kamu yang mau ke petshop. Kamu ngajakin aku juga cuma aku nolak karena aku masih ngantuk, dan pas aku bangun aku ngelakuin hal sama dan baru sadar kalau sekarang masih jam dua belas siang. Ini sama persis seperti yang aku alami di mimpi!"
"Kok aku bingung ya, padahal—"
"Oke, aku pasti tau kamu bakal ngomong bingung, sebab aku sendiri juga bingung soal ini, tapi aku akan jelasin lagi ...." Aku mencoba menjelaskan kembali apa yang terjadi denganku. Firma hanya mengkerutkan dahinya dan memainkan handphone miliknya.
"Fir! Aku lagi jelasin kamu malah main handphone!" bentakku dengan nada tinggi. Firma hanya memandang wajahku serius lalu menghampiriku. Firma menaruh punggung tangan kanannya di keningku.
"Ngapain sih?!" tanyaku heran dengan tingkahnya. Segera ku tepis tangan kanannya dari keningku.
"Kau serius soal apa yang kau omongin?"
"Seriuslah!" jawabku. Firma hanya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menyerahkan handphonenya.
"Coba lihat jam di rumah kau ini dan jam di handphoneku."
"Ck! Kan udah aku bilang di rumahku jam setengah satu siang!!" ujarku sambil menunjuk jam dinding di ruang tengahku. "Ya di handphonemu juga jam 15.32 ...." Aku berhenti sejenak sambil mengamati jam yang tertera di layar handphone Firma. Eh kok bisa sih?
"Lima belas berapa?"
"15.32,"ujarku tersadar. Firma hanya menghela nafas.
"Jam di rumah kau ini mati Dik. Cpva perhatiin lebih teliti jam kau, jangan ribut sendiri," jelas Firma. Aku segera memperhatikan jarum jamku secermat mungkin, dan benar adanya seperti yang diucapkan oleh Firma.
"Lah, terus tadi ngapain kamu bilang ke aku kalau kamu mau pergi ke petshop?" tanyaku mencoba membela.
"Ye! Kau yang ngambil kesimpulan sendiri aku mau pergi ke petshop," jawab Firma sambil melempar bantal kecil di sofa kearahku, "aku emang mau pergi tapi bukan ke petshop. Orang baru sampe dari petshop, terus mau beli makan. Kau saja yang motong-motong mulu," tambah Firma. Aku hanya diam menyadari kebodohanku. "Yaudah mau ikut beli makan, gak?" tawar Firma. Aku hanya menggeleng. "Kenapa? kau bakal sakit kalau belum makan."
"Entar aja aku agak maleman makannya Fir," ujarku tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalaku.
"Kamu gak usah khawatir, soal uang—"
"Ah, bukan itu kok," ujar memotong perkataan Firma. "Aku hanya ...."
"Hanya ... apa?"
"Lagi gak nafsu untuk makan atau gerak dulu, lagian masih ngantuk juga," lanjutku. Firma hanya mengangguk pelan.
"Yaudah, bye Dik! Assalamu'alaikum," ujar Firma sambil menutup pintu kamarku.
Aku terdiam mematung sesaat setelah Firma menutup pintu. "Wa'alaikumsalam," ujarku lirih. Segera aku pergi ke kamar dan melanjutkan tidurku. Sayang, rasa kantuk tak kunjung datang. Aku hanya berbaring dengan tangan menyilang di belakang kepalaku sambil memandang langit kamar. Lucu juga aku berpikir kalau aku mengalami déjà vu hanya karena jam mati. "Kalau ada si Dena, gue dah di bully tuh," ujarku pelan membayangkan bagaimana malunya aku jika Aldena tau akan hal ini. Sesaat terbayang wajah saudara tanpa ikatan darahku, Aldena. Sahabat yang dekat denganku. Sudah hampir dua minggu aku berada disini.
"Hah." Aku membuang nafas ku yang berat karena berpikir akan hal itu. Apa yang harus ku lakukan? tanyaku pada diri sendiri, tunggu, kakakku memang tidak ada, tapi tempat dan rumahnya masih ada, jangan-jangan bila aku ke tempat dimana aku kecelakaan .... Aku segera bangkit dari posisiku dan duduk di tepian kasur.
Arghh tapi apa yang bakal aku lakukan, tanyaku bingung sambul menggaruk-garuk kepalaku. Ini sama saja aku harus mencari potongan yang hilang, gumanku pelan sambil memijit pangkal hidungku.
"Ah!" ujarku tersadar akan suatu hal. Sedikit gila sih tapi itu adalah hal yang bisa aku lakukan saat ini. "Tinggal tunggu Firma terus minta pendapat dia dan—"
Tok! Tok! Tok! terdengar suara ketukan di pintu depan kamarku.
"Wuih, panjang umur si Firma, baru aja di omongin udah datang," ujarku segera berlari ke arah pintu. "Iya Fir ada ap—"
"Ah, Assalamu'alaikum,"
"Ah eh.. Wa'alikumsalam Citra." ujarku sedikit gugup. "Ada apa nih, yuk masuk-masuk," tawarku lagi sambil berusaha mengontrol nada bicaraku. Citra hanya mengangguk dan mengikutiku dari belakang.
"Duduk dulu Cit, bentar ya aku bikinin minum dulu," ujarku sambil melangkah ke dapur.
"Ah endak usah, malah ngerepotin kak."
"Gak papa cuma air putih doang. Orang aku gak punya teh atau sejenisnya," teriakku di dapur sambil tertawa. Tak lama aku menaruh dua gelas air putih di meja. Citra hanya tertunduk malu-malu.
"Maaf gak ada rasanya," ujarku sedikit membangung atmosfer hangat bersama Citra, "oh iya, ada apa nih?"
"Ah iya,." Citra buru merogok kantung jaketnya. "Ini," ujar Citra sambil menyerahkan sebuah amplop.
"Apa nih?" ujarku sambil membuka amplopnya, ku dapati sebuah kartu dan gelang berwarna hijau. "Eh E-KTP-nya udah jadi?" tanyaku kepada Citra. Citra tampak bingung mendengar perkataanku. "Ah, salah lagi," ujarku spontan sambil menepuk jidatku, "KTP-E maksudku."
"Oh." Citra hanya mengangguk pelan.
"Ini kok banget? Cuma delapan jam udah jadi," ujarku sambil mengamati E-KTP miliku.
"Itu kegolong lama kak, biasanya cuma sejam atau dua jam juga jadi."
"Lah, dulu pas aku bikin aja sampai 14 hari kerja nunggunya," ujarku mencibir. Citra hanya tertawa pelan. "Terus ini gelang buat apa?"
"Oh itu gelang nunjukin kalau kakak Muslim."
"Maksudnya?"
"Gini, dulu ada yang ngusulin katanya agar setiap penduduk diberikan identitas, khususnya kepercayaan agama mereka. Agar bila suatu saat ada yang kecelakaan dan sudah dipastikan tidak terolong atau sudah sekarat, maka kita akan membimbingnya sesuai dengan agamanya."
"Oh, jadi kalau ada yang kecelakaan dan sudah dipastikan sekarat akan di bimbing menemui ajalnya?"
"Ya, gak gitu juga kak," jawab Citra kebingungan, "kita tetep akan berusaha memanggil bantuan, tapi dari pada kita nunggu bantuan dan tiba-tiba si korban keburu mati kan gak ada yang ngebimbing, intinya sih jaga-jaga kalau misal pertolongannya telat, nah kita siap siaga buat bimbing mereka," jelas Citra. Aku hanya mengerutkan dahi dan memejamkan mata.
"Keren juga sih, tapi kalau yang non muslim?"
"Setiap warna itu ada agamanya kak, khusus hijau itu berarti muslim kak," jelas Citra. Aku hanya mengangguk.
"Kalau turis gimana? kadang suka ada yang atheis lho?" tanyaku. Citra hanya memasang wajah polos seperti anak kecil sambil memejamkan matanya. "Ah maaf, kayanya terlalu ini ya," ujarku sambil tertawa.
"Dan juga ini kak," ujar Citra yang mengeluarkan kantong kain berwarna hijau dan meletakannya di meja.
"Ini apa?" tanyaku heran. Citra hanya tersenyum manis sambil memeluk bantal sofa.
***
Dipublikaskan pertama kali:
14 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan:
17 September 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Depan : Love, Friends, Fact and Hope
General FictionT A M A T #205 di Fiksi umum (16 Mar 2017) [Cetakan/Editan pertama Mei 2016] [Cetakan/Editan kedua Agustus 2016] [Cetakan/Editan ketiga September 2017] Apa yang akan kamu lakukan jika kamu terbangun di masa depan? Itulah yang terjadi dengan Dika Ma...