"Fir? Emang aku bisa naik pesawat?" tanyaku sedikit gugup.
"Lah, emang kenapa?"
"Passport-nya?" Firma berhenti tepat di depanku dan berbalik memandang ke arahku. Hal itu membuatku bingung, ditambah mimik wajah Firma yang tampak tidak percaya akan perkataanku. Harusnya kan dia mikirin kalau aku gak punya passport aku menggerutu dalam hati.
"Kau belum pernah baik pesawat ya?" Aku mengangguk pelan. "Tapi di zamanmu pesawat udah adakan?"
"Pesawat telepon?"
Firma mengeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak percaya. Sadar ia tidak tahu aku tengah bercanda, aku hanya tertawa pelan.
"Kenapa kau cekikikan?"
"Ya kali gak ada pesawat. Kalau pak B.J.Habibie denger, kamu nanya di 2016 belum ada pesawat bisa protes dia."
"Jadi udah ada?"
"Udeh.
"Tapi, serius kau belum pernah naik pesawat?"
"Rumahku kan di Ciamis, main paling ke Tasikmalaya, udah. Yakali kesana naik pesawat?!" Aku balik bertanya dengan nada proteals. "Kalau kamu kan Jakarta-Makassar, wajar naik pesawat, yakali aku Ciamis-Tasik." Firma tertawa menyadari hal itu.
"Yaudah, diam aja kau. Oh iya ...." Firma memandangku lagi layaknya preman yang tengah menagih upeti—tangan kiri di pinggang dan tangan kanan yang 'meminta' sesuatu dariku.
"Apa?"
"KTP-E kau lah?"
"Buat?"
"Udahlah cepat." Aku hanya mengangguk pelan dan membuka tasku. Dalam pelan dan hati-hati aku mencari apa yang di minta oleh Firma. "Lama amat nyari KTP-E aja?"
"Y-ya bentar ... nih," ujarku seraya menyerahkan KTP-E milikku. "Eh Fir, itu namanya siapa?" tanyaku lagi sambil menunjuk KTP milikku.
"Nama kau lah? Masa nama Pak RT!" jawab Firma.
"Takutnya salah ngetik aja soalnya dulu pernah salah ketik," elakku. Firma segera melihat KTP ku dengan teliti. "Gimana?"
"Maulana Dika, gak salah kok. Yaudah yuk!" jawab Firma seraya berjalan di depanku dan segera bergabung dengan antrian. Beruntung hanya ada dua orang di depan kami sehingga tak sampai dua menit kini Firma dan aku sudah berada di antrian terdepan.
"Selamat pagi," sapa seorang Wanita berpakaian batik, "ada yang bisa kami bantu?"
"Pagi," balas Firma ramah seraya menunjukan handphonenya. Dengan sigap si Wanita itu mengambil dan mengamati handphone Firma.
"Maaf KTP-E nya?" Firma segera menyerahkan KTP ku dan miliknya. Wanita itu segera me-scan KTP kami dan memberikan kepada Firma. Tatapannya kini tertusuk pada layar handphone Firma yang ia pegang dengan tangan kirinya, sedangkan jari-jemari tangan kanannya tengah menari-nari diatas keyboard hitam. Tak lama wanita itu menyerahkan handphone Firma beserta dua tiket penerbangan kami.
"Terima kasih, semoga penerbangannya selamat sampai tujuan," ujar Wanita itu seraya tersenyum. Firma hanya tersenyum dan berbalik memandang ke arahku.
"Yuk!" ujar Firma.
"Eh? Udah?" Firma mengangguk pelan. Belum sempat hendak bertanya lagi tapi Firma sudah menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke kanan ke kiri.
"Jangan tanya kenapa bisa gitu, aku pusing jelasinnya! Aku tau kau begitu tertarik sama perbedaan di sini seperti kendaraan umum yang gak pakai bensin atau sejenisnya, tapi aku juga gak terlalu paham. Semenjak kecil udah gini," jelas Firma. Aku hanya mengangguk pasrah. "Oh iya dan satu lagi ...," tambah Firma seraya memandang ke arahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Depan : Love, Friends, Fact and Hope
General FictionT A M A T #205 di Fiksi umum (16 Mar 2017) [Cetakan/Editan pertama Mei 2016] [Cetakan/Editan kedua Agustus 2016] [Cetakan/Editan ketiga September 2017] Apa yang akan kamu lakukan jika kamu terbangun di masa depan? Itulah yang terjadi dengan Dika Ma...