"Firma!!" Aku berlari ke arah ruang ICU, guna mengejar dua perawat yang tengah mendorong pasien—atau mungkin jenazah. Sayang, saat itu suasana cukup ramai sehingga membuatku menyelinap di antara lautan manusia.
"Duh, Kang!" gerutu seorang wanita yang tanpa kusengaja kudorong.
"Punten Bu, punten ngiring ngalangkung," ujarku pelan meminta agar mereka memberikan ruang untukku. Hampir satu menit akhirnya aku berhasil keluar dari kerumunan orang. Layaknya seekor elang, kedua mataku mencari ke kanan dan ke kiri dari pintu ruang ICU. Sayang tidak kutemukan dua perawat yang menjadi target pencarianku. Tidak membuang waktu, aku segera melihat papan petunjuk untuk mencari satu-satunya tempat jika memang yang mereka bawa adalah jenazah pasien—Kamar Jenazah.
Ruang Angrek, Bugenville, Rose, Taman kanan. Ruang Radiologi, Labolatorium, gudang, kamar jenazah, kiri. Nah! batinku kala melihat papan petunjuk. Sesaat setelah aku sampai di ujung jalan, aku kembali membaca petunjuk arah. Radiologi, Lab lurus. Gudang, kamar jenazah, kiri .... Aku terdiam sejenak menyadari sesuatu hal aneh.
Apa benar dua perawat itu membawa jenazah? tanyaku pelan.
Sial! Gimana cara mastiinnya kalo itu Firma atau bukan? Bisa aja dua perawat itu nyimpen kasur yang rusak. Tapi gimana kalau ternyata mereka masuk ke ruang jenazah? Satu-satunya cara ya harus dicek sendiri. Tapi gimana? Untuk masuk ke ruang jenazah aja susah? Sial! Aku memijit pangkal hidungku secara perlahan. Kuambil napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Berkali-kali aku mencoba mencari cara agar bisa mendapatkan jawaban. Kak Rizal!
Kuambil handphone-ku dan segera menelepon Kak Rizal. Tiga kali aku mencoba, namun tetap operator yang menjawabnya. "Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif."
Sial! Mau tidak mau satu-satunya cara yaitu nyelinap ke kamar ....
"Eh, Ceu. Kamarnya Bu Eva téh dimana?"
"Anggrek, ceunah."
"Nomor?"
"Duka, tanyain wé nanti ke yang jaga, 'pasien nyonya Eva ti Sadananya, nomor berapa?"
"Oh, uhun atuh."
Aku terdiam mendengar percakapan dua ibu-ibu yang berjalan melewatiku. Sepersekian detik kemudian, aku segera berlari kembali menuju ruang ICU. Buodoh! Kok bisa gak kepikiran! Tinggal nanya ke suster yang jaga apa susahnya! gumanku pelan. Sesampainya di ruang ICU kudekati meja perawat dan kulihat seorang suster yang tengah menulis sesuatu segera mendekatiku dengan sedikit terburu.
"Sus ...."
"Ah, ini keluarganya pasien yang bernama Firma ya?"
Aku mengangguk pelan.
"Maaf, tapi tadi dia udah dibawa ...." Suster itu terus melanjutkan perkataannya yang entah mengapa aku tidak bisa mendengarnya. Hal yang bisa kudengar hanyalah, "Maaf, tapi tadi dia udah dibawa." Tubuhku terasa berat secara tiba-tiba. Tanpa kusadari aku berjalan mundur hingga tak sengaja menabrak kursi besi di belakangku.
"Jadi ... Firma sudah ...." Kulihat suster penjaga itu mengangguk pelan.
"Jika saja kakak bisa datang lebih tepat, mungkin setidaknya Firma akan bahagia."
Bersamaan dengan itu, aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Samar-samar aku teringat mimpi yang membuatku terjaga kala menjaga Firma. Mungkinkah itu pertanda? Aku bertanya kepada diriku sendiri. Beberapa kepingan puzzle gambaran semua peristiwa yang aku alami bersama Fima tampak berjatuhan di depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Depan : Love, Friends, Fact and Hope
General FictionT A M A T #205 di Fiksi umum (16 Mar 2017) [Cetakan/Editan pertama Mei 2016] [Cetakan/Editan kedua Agustus 2016] [Cetakan/Editan ketiga September 2017] Apa yang akan kamu lakukan jika kamu terbangun di masa depan? Itulah yang terjadi dengan Dika Ma...