Ng ..., gumamku pelan. Tidak lama, kudengar beberapa pasang langkah kaki yang semakin lama semakin jelas.
Siapa? tanyaku dalam hati. Aku mencoba membuka mataku dan melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sial, gak bisa, berat banget, keluhku. Berkali-kali Kucoba sekuat tenaga untuk membukanya, tapi entah kenapa kedua mataku terasa berat.
"Bagaimana?" tanya seseorang yang kuperkirakan seorang pria—karena bersuara berat—dari arah kananku.
"Cukup mengkhawatirkan," jawab seseorang yang kuperkiraan seorang wanita—karena begitu lembut—dari arah kananku. Hanya saja sedikit pelan dari yang sebelumnya.
"Mana?" tanya Pria Bersuara Berat. Cukup lama aku tidak mendengar suara yang lain, kecuali gesekan seperti kertas yang dibolak-balik. "Baiklah, terus awasi dan laporkan perkembangannya 3 x 24 jam," tambah Pria Bersuara Berat lagi yang disusul dengan keheningan. Beberapa menit berselang tidak ada lagi suara apa pun yang menggetarkan gendang telingaku.
Apa yang sebenarnya terjadi? tanyaku lagi. Tidak lama kemudian, aku kembali mendengar beberapa pasang derap kaki yang semakin lama semakin besar. Samar-samar aku mendengar suara mereka, tapi tidak ada satu kata pun yang kumengerti. Begitu banyak suara dengan berbagai macam nada, hingga aku pun tidak bisa menerka jumlah orang yang ada di dekatku.
Tiba-tiba kurasakan sebuah kejutan yang cukup hangat dan menyengat di dadaku. Apa yang mereka lakukan kepadaku? tanyaku. Tidak lama kemudian, aku kembali merasakan hal yang sama. Yang berbeda hanyalah lebih terasa hangat dan lebih menyengat. Bersamaan dengan itu aku mulai bisa menggerakan jemari tanganku. Ingin aku mencoba membuka mataku, tapi itu terasa berat walau tidak seberat pertama kali aku mencoba.
Apa yang harus .... Aku tidak melanjutkan perkataanku. Lebih tepatnya tidak bisa. Kurasakan dadaku terasa panas dan sakit disertai rasa menyengat yang begitu menusukku. Hingga tanpa kusadari aku bisa membuka mataku dengan mudah dan tampak langit-langit kamar berwarna putih. Namun anehnya, tak kutemukan siapapun di samping kanan atau kiriku. Perlahan, aku berusaha duduk dan mengerjapkan mataku berlaki-kali seraya mengedarkan pandanganku.
Dimana aku? tanyaku di dalam hati. Kucoba mengingat beberapa kejadian sebelumnya. Namun, kurasakan sengatan listrik statis di pelipisku. Aw ... lho, ini ... perban, ya? Kok bisa? ujarku tersadar sambil memegang pelipis kiriku.
"Bagaimana keadaan kau?" tanya seseorang bersuara lembut.
"Entahlah, aku merasa pusing dan sedikit sakit di dadaku." Sejenak tak ada balasan dari suara itu, tapi aku bisa mendengarkan suara helaan napas yang begitu berat.
"Itu ... sepertinya efek samping karena kau kecelakaan lalu lintas. Untung kau pake helm SNI. Kalau tidak, pecah kepala kau," jelas suara itu pelan.
Aku menoleh ke arah suara itu berasal dan kulihat seorang wanita tengah berusaha bangkit dan duduk di sampingku, tentunya di ranjangnya. Sekilas tangan kirinya tengah terhubung dengan kantung NaCl yang tengah digantung. Aku terdiam mengamatinya. Wanita itu menggunakan baju yang sama denganku dan jilbab berwarna sama dengan bajunya.
"Aku ... di mana?" tanyaku lirih.
"Ah iya, kau 'kan baru sadar ...," jawabnya sambil tertawa kecil. "... kau ada di RSNI."
"RSNI?" tanyaku bingung. Tidak hanya bingung apa "itu" yang disebut olehnya, tapi melainkan bingung kenapa ia berbahasa sedikit "unik". Berkali-kali ia mengucapkan "kau" seperti tokoh asal Medan dalam sinetron.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Depan : Love, Friends, Fact and Hope
BeletrieT A M A T #205 di Fiksi umum (16 Mar 2017) [Cetakan/Editan pertama Mei 2016] [Cetakan/Editan kedua Agustus 2016] [Cetakan/Editan ketiga September 2017] Apa yang akan kamu lakukan jika kamu terbangun di masa depan? Itulah yang terjadi dengan Dika Ma...