Chapter 37.0 - Namanya Firma

141 27 4
                                    

"Jadi, bagaimana Dok?" tanya Ayahku.

"Selama beberapa hari terakhir hasilnya bagus. Kemungkinan besok atau lusa pasien sudah diperbolehkan untuk pulang, hanya saja jangan terlalu kecapekan," jawab Dokter yang memeriksaku.

"Terima kasih, Dok!" Kulihat Ayahku segera menjabat tangan dokter.

"Ah tidak Pak, malah ini adalah mukjizat dari Tuhan. Anak Bapak ini ... ketika jantungnya berhenting, segera kami pakai alat pacu jantung tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kami berpikir bahwa pasien sudah anfal[1]. Beruntung Bapak melarang kami untuk menanggalkan peralatan yang terpasang. Jika kami tetap membongkar semuanya, mungkin ceritanya lain," jelas dokter itu. "Ya sudah lekas sembuh saja ya, Dika, permisi."

Aku mengangguk pelan. Tidak lama kemudian seseorang membuka pintu ruanganku.

"Assalamu'alikum."

"Wa'alaikumsalam, eh Dena masuk-masuk." Aku melirik ke arah pintu dan kulihat Aldena tengah berdiri di luar bersama sahabatku yang lain. "Wah bawa rombongan nih," canda ayahku lagi sambil tertawa. "Ya udah masuk-masuk. Kalau mau ini ada kue sama keripik. Kebetulan Bapak juga mau keluar dulu, jadi nitip pasienya dulu."

"Iya Pak, siap!" ujar Bahar mengiyakan.

Kini, tinggalah kami berempat di ruang empat kali enam ini. Aku, Aldena, Bahar, dan Azhar. Sejenak kuperhatikan wajah mereka masing-masing secara seksama.

"Dika!!" teriak Bahar sambil hendak menghampiriku dengan terbuka. Dengan cepat aku memberikan isyarat agar ia tidak mendekatiku.

"Gue tau lu bakal meluk gue, jijik gue dipeluk sama cowok! Jenggotan pula!" Dena dan Azhar tertawa mendengar perkataanku. "Lu juga Den, Har," tambahku lagi.

"Idih, situ kali yang pengen dipeluk," ujar Aldena sambil mengambil kursi dan duduk di sampingku. "By the way, gimana sekarang?"

"Alhamdulillah, Baik." Aldena hanya tersenyum sambil mengusap perutku yang buncit. "Yey, lu kira gue hamil apa!" Mereka bertiga tertawa terbahak-bahak. "Tapi, serius nih, gue emang koma hampir tiga bulan?"

Aldena hanya menghela napas seolah-olah bosan mendengar pertanyaanku. "Lu kaya yang pamer mentang-mentang koma baru tiga bulan. Yang lain pada pusing mikirin lu."

"Jadi nyesel, harusnya ane ikutin rencana si Bahar buat taruhan kalau ente bakal bangun kapan. Padahal feeling ane, ente bangun bulan April," ujar Azhar pelan.

"Lah kok gue jadi bahan taruhan?"

"Da taruhan Barcelona lawan Madrid mah udah mainstream," jawab Bahar enteng yang membuat Azhar dan Aldena tertawa.

"Anjir lu Har, teganya dikau." Aku membuang muka seolah-olah tengah marah. Tidak lama kemudian tiga sahabatku membuka pintu dengan wajah bingung.

"Wa'alaikumsalam," celetuk Bahar yang tengah memakan kue miliku.

"Oh maaf, Assalamu'alikum," kata Pipit pelan.

"Wa'alaikumsalam," jawab kami bersamaan.

"Dika gimana kabarnya?" tanya Pipit lagi.

"Alhamdulillah, udah mendingan. Besok atau lusa juga udah boleh pulang kok."

"Nih tadi ada titipan dari mamaku Dik!" ujar Asri mengangkat kantong kresek berwarna hitam. Dengan sigap Bahar mendekati Asry dan mengambil kresek hitam.

"Cuma segini bawanya?" tanya Bahar.

"Emang kenapa?"

"Deng, mani pelit! Kalo udah ngasih makanannya mah, ya udah pulang lagi aja kalian téh. Pasien perlu istirahat," ujar Bahar yang disusul dengan cubitan oleh Asry di pinggangnya. Aku tertawa pelan melihat mereka. Kucoba untuk merubah posisi tidurku agar lebih tinggi. Melihatku yang tengah berusaha, dengan sigap Aldena dan Bahar membantuku dan meninggikan posisi bantalku. Sedangkan Azhar memutar tuas yang mengatur sudut kasurku agar aku bisa bersender langsung. Aku tersenyum melihat mereka yang membantuku padahal tidak kuminta.

Masa Depan : Love, Friends, Fact and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang