Chapter 36 - Dua Belas Nasihat

166 29 10
                                    

"Eh?"

Spontan aku memegang dada kiriku. Kenapa ini? Aku bertanya pada diriku sendiri. Kurasakan detak jantungku begitu kuat hingga tanganku mampu merasakannya. Apakah ini serangan jantung? Aku mencoba berpikir tenang dan tak lama kembali seperti sedia kala.

"Kamu kenapa Dik?" tanya Firma. Kulihat wajahnya sedikit khawatir.

Bodoh, kamu tuh gak bisa nyembunyin ekspresi mukamu. Karena itulah aku gak bisa terus terang, batinku.

Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa aku hanya merasa agak sakit," ujarku sambil menyenderkan punggungku. Mungkin aku terlalu lama mencondongkan badanku dan bertumpu pada lututku, ujarku dalam hati.

"Serius?" Aku melirik ke arah Firma dan melemparkan senyuman.

"Kau khawatir?" Aku bertanya kepada Firma. Ia membuang mukanya dan tak lama ia mengangguk pelan dengan wajah tertunduk. "Kau tahu salah satu komik detektif asal Jepang? Detektif Conan?"

Firma mengangguk pelan. "Tapi aku gak baca."

"Ada di salah satu volumenya membahas soal polisi penjinak bom bernama Matsuda Jinpei. Dan rupanya ada seorang polisi wanita pula yang menyukai Jinpei yaitu Miwako Sato. Sayang ketika ada teror bom, Matsuda Jinpei meninggal untuk mengorbankan nyawanya agar mendapatkan petunjuk letak bom selanjutnya. Sebab si pembuat bom sengaja meninggalkan petunjuk bom ke dua di tiga detik terakhir. Hal itu membuat Miwako kehilangan orang yang disukainya. Selang beberapa tahun teror bom kembali terulang, saat itulah Wataru Takagi menyamar menyerupai Matsuda Jinpei yang membuat Miwako teringat akan kenangan cerita kelam. Miwako dan Takagi memang saling mencintai satu sama lain. Tapi, kejadian itu membuat Miwako mengingat Jinpei. Miwako berkata dan memohon kepada Takagi untuk membantu melupakan Jinpei. Namun kau tau apa yang dikatakan Takagi?" Firma menggelengkan kepalanya. "Jangan Lupakan. Seseorang yang telah mati akan hidup di hati orang yang mengenangnya." Kulihat Firma begitu terkesima dengan ceritaku.

"Pada dasarnya ... kita semua akan mati, tinggal waktu yang membuktikan siapa yang lebih dulu untuk bertemu Sang Pencipta. Aku mungkin mati karena aku benar-benar mati di zaman ini atau aku kembali ke zamanku yang sebenarnya. Kau boleh menangisi kematianku, tapi setiap kau menangis dan ingat akan padaku, aku ingin kau mendoakanku," jelasku lagi memandang wajah Firma dalam-dalam. "Kau tak perlu khawatir karena aku mati suatu saat. Sebab itu pasti. Tapi bila kau ada disampingku ketika kematian menghampiriku, tolong bimbing aku untuk mengucapkan nama-Nya," pintaku.

Firma mengangguk pelan.

Tak lama hawa dingin mulai menyelimutiku, terasa sangat dingin hingga menusuk kulit dan tulang tubuhku. Aku mencoba menyembunyikan perasaan dinginku karena tak ingin membuat Firma khawatir. Walaupun aku sudah berkata hal akan kematian, hal itu tidak akan membuatnya sedikit tenang. Aku mencoba menarik napas, tapi terasa begitu berat. Kembali kusandarkan punggungku dan mendongakan kepalaku, mencoba sekali lagi bernapas. Namun, tetap saja terasa berat.

Aku kembali merasakan detak jantungku. Refleks, aku memegang dada kiriku dengan tangan kananku. Kali ini kurasakan ada sedikit rasa sakit. Seperti ada listrik yang menghantam ke dadaku.

Lagi! gumamku seraya memegang dada kiriku. Tak lama kurasakan sengatan yang lebih sakit hingga membuaku jatuh tersungkur ke tanah. Kucoba untuk bangkit dan berdiri, tapi semua anggota tubuhku tak mau bergerak. Firma yang melihat kejadian itu segera menjatuhkan dirinya dan merangkak mendekatiku. Kudengar ia menjerit meminta tolong bersamaan dengan itu ia mencoba mendorong untuk membalikan badanku. Kuulihat ia berusaha menekan dadaku sekuat tenaga. Pandanganku mulai kabur dan rasa ngantuk mulai bergerilya menguasaiku.

Firma, ujarku dalam hati.

"Dika ... tenanglah! Perawat sedang kemari, bertahanlah, tetaplah terjaga!" teriak Firma. Kuangkat lengan kiriku guna menunjukan gelangku yang berwarna hijau.

Masa Depan : Love, Friends, Fact and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang