Chapter 14. Pilihan Terbaik

240 41 8
                                    

Aku meminum susu hangat yang diberikan oleh Citra, sedangkan Citra masih menemaniku dan duduk di kursi yang digunakan oleh Ayahnya. Terlihat raut cemas tampak jelas tergambar di wajahnya.

"Tadi kenapa?"

"Cuma ketiduran terus mimpi," jawabku sambil tertawa pelan. Namun tak ada perubahan ekspresi yang terpancar di wajah Citra. "Tenang, aku gak papa kok!"

"Sungguh?" tanya Citra. Aku mengangguk sambil melempar senyumanku.

"Tadi Abi nyuruh aku nemenin kamu dulu, katanya ada urusan dulu sama pak Zulkifli," ujar Citra menjelaskan, "aku udah tau cerita soal kamu dari abi dan ummi kemarin, makannya aku cukup khawatir," ujar Citra sambil tertunduk dan memeluk nampan yang ia gunakan untuk mengantar segelas susu untukku.

"Oh," ujarku pelan sambil memegang gelas susu yang hangat. Suhu hangatnya membuatku merasa lebih rileks dan tenang.

"Kenapa juga ya kok bisa gini?" tanya Citra. Aku hanya menggeleng. "Jujur kalau aku jadi kamu entah aku bagaimana? Ketika harapanku adalah keluarga ternyata sirna dan tidak ada. Entah bagaimana aku bisa menerimanya, mungkin aku udah mau mengakhiri hidupku saja."

Aku meminum susu hangatnya lalu meletakannya, "Ujian Tuhan itu selalu datang ketika tidak siap, karena itulah disebut ujian. Kita akan memilih jalan kita sendiri, dan pilihan kita itulah yang menentukan kita bagaimana kedepannya. Simpelnya begini," ujarku sambil mengambil bidak Raja miliku, "kita ingin hidup di surga atau neraka?"

"Surga."

"Maka kita harus melakukan semua perintah-Nya," ujarku pelan, "aku memang tidak siap dengan statusku sekarang. Malah mebayangkan dengan hidup sebatang kara ini aku tidak pernah. Namun, aku tidak mau mengakhiri hidupku seperti yang kamu bayangkan. Kau tau, shalat itu tiangnya agama Islam, dan agama itu tiangnya kehidupan. Di zamanku, banyak orang melakukan korupsi, pembunuhan, asusila dan sejenisnya. Mereka hanya orang tak beriman." Citra terdiam mendengar penjelasanku.

"Para koruptor itu pintar, sangat pintar. Hanya, mereka memiliki ilmu dan kecerdasannya, tapi tidak diimbangi dengan iman. Setiap agama pasti ada dosa dan sejenisnya. Jika kita tarik garis besarnya, kita akan baik-baiknya selama kita masih mengingat akan Tuhan kita," Ujarku pelan.

Aku melihat kesekeliling dan menemukan secarik kertas kosong, "Minta kertasnya ya!" Citra hanya mengangguk. Segera aku mengambar lingkaran dan membuat menjadi empat titik seperti angka jam yaitu dua belas, tiga, enam, dan sembilan. "Oke sip." Aku meletakan pion rajaku diatas angka dua belas.

"Menurutmu raja ini ada dimana? di atas, di bawah, di kanan, dikiri?" tanyaku.

"Diatas!" jawab Citra mantap. Aku hanya mengangguk.

"Kehidupan itu seperti roda, benar bukan? Kadang kita diatas atau diposisi angka dua belas, kadang pula kita dibawah di posisi angka enam," ujarku sambil menggerakan pion raja memutar ke arah angka enam dan meletakannya tepat diatas angka enam.

"Sekarang rajanya ada di?"

"Bawah!" jawab Citra cepat.

"Tepat!" ujarku sambil bertepuk tangan. Citra terlihat kebingungan. "Nah, sekarang coba kamu berdiri di belakangku!"

"Kenapa?"

"Ayolah cepat!" pintaku. Citra hanya berjalan dan berdiri dibelakangku. "Rajanya sekarang ada dimana?" tanyaku lagi.

"Di-diatas," jawab Citra sedikit ragu-ragu.

"Benar! Jika kita merubah sudut pandang kita akan suatu hal, maka kita akan melihat posisi tersebut selalu diatas. Maksudku agama adalah salah satu cara bagaimana kita melihat sesuatu hal, dan orang yang beragama akan selalu merasa dirinya berada diatas atau berkecukupan," jelasku sambil meletakan kembali rajaku ke tempat semula. "Walau saat ini, hingga detik ini pun aku hidup sebagai sebatang kara, bukan berarti aku berada di titik terbawahku. Tapi aku bersyukur sebab ada orang-orang yang mau membantuku." Termasuk ibuku sendiri, tambahku dalam hati. Citra mengangguk seraya kembali duduk di kursi Ayahnya.

Masa Depan : Love, Friends, Fact and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang