Firma .... Aku tertegun kala melihat Firma yang terbaring dengan berbagai alat di sana-sini. Ada perasaan khawatir kala mendengar Firma terbaring di ruang ICU. Namun, belum sempat aku bertanya, Kak Dok hanya memintaku menunggu di sini hingga ia kembali.
Cukup lama aku menunggu sendiri di ruang jaga, hingga kudengar suara gesekan besi dengan lantai. Laksana ular yang menunggu mangsanya dengan sabar, aku langsung berdiri kala ekor mataku menangkap sosok Kak Dok. "Gimana?" tanyaku yang langsung menyemprot Kak Dok sesaat setelah masuk.
Kak Dok hanya tersenyum. "Firma baik-baik saja. Operasinya alhamdulillah berhasil, tapi, atas permintaan Kakak juga Firma ditempatkan di ruang ICU[1]," jawab Kak Dok seraya menggaruk hidungnya.
Aku terdiam sejenak dan memandang mata Kak Dok dalam-dalam. "Kapan Kakak ngomong gitu?"
"Ngomong apa?"
"Iya, minta ke pihak rumah sakit buat ngerawat Firma di sini?"
Mata Kak Dok bergulir ke sisi kanan tengah. "Saat ...."
"Kak," potongku. "Bisakah kita membicarakan tentang apa yang harus 'dibicarakan'."
Kak Dok hanya terdiam lalu menghela napas dan mengangguk pelan. "Baik, sebelumnya maaf ...."
Aku mengangguk pelan.
"... jadi ... kamu ingin tahu dari mana?"
"Semuanya," jawabku pelan. "Dari awal sampai akhir ... dan tidak ada tipu daya lagi."
Kak Dok mengangguk pelan. "Kamu ingat Firma mengeluarkan darah melalui hidung dan telinga?"
Aku mengangguk pelan. "Firma kemungkinan mengalami pendarahan yang cukup hebat," jawabku.
"Benar. Sesaat setelah di lakukan CT-Scan, ditemukan hiperdens[1] berbentuk bulan sabit diantara durameter dan araknoid."
"Hiperdens?"
"Pendarahan."
Aku mengangguk pelan. Jadi karena itu Kak Sus bilang Firma harus cito[2], ujarku dalam hati.
"Artinya ... Firma mengalami pendarahaan subdural hematoma[3], disingkat dengan SDH atau PSD. Karena ketika sampai pun Firma tidak sadarkan diri, diperkirakaan Firma ...."
"Firma ... kenapa?"
"Subrudal hematoma akut."
Aku tergeming mendengar perkataan Kak Dok. Waktu seolah-olah perlahan berhenti, sedang kalimat 'subrudal hematoma akut' terus menggema.
"Firma di operasi pada pukul sepuluh malam sedangkan ...."
"Sekitar empat jam lebih sejak kecelakaannya," potongku.
"Benar."
"Apa itu berpengaruh?"
Kak Dok menghela napas sejenak. "Iya. Dari hasil GOS[4] Firma mendapatkan skor dua."
"Skor dua? Maksudnya?"
Kak Dok terdiam sejenak, memandang kedua mataku dengan tatapan bimbang. Namun, selang beberapa detik kemudian ia kembali menghela napas dan mengistirahatkan tubuhnya di kursi. "Setelah operasi kita akan mendapatkan skor GOS. GOS sendiri terdiri dari lima kategori, mulai dari skor lima sampai satu. Skor lima, good recovery. Skor empat, moderate disability. Skor tiga, severe disability. Skor dua, persistant vegetative. Dan skor satu ... death.
"Lalu, menurut Serlig et al[5]: Pasien SDH yang dioperasi dalam empat jam pertama, mortalitas[6] 30%. Sedangkan pasien dioperasi setelah empat jam, mortalitas 90%. Dan, menurut Hasselbelger et al: Pasien koma kurang dari dua jam mortalitas 47%. Sedangkan pasien koma lebih dari dua jam ...." Kak Dok sejenak menghela napas. "... mortalitas 80%."
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Depan : Love, Friends, Fact and Hope
Algemene fictieT A M A T #205 di Fiksi umum (16 Mar 2017) [Cetakan/Editan pertama Mei 2016] [Cetakan/Editan kedua Agustus 2016] [Cetakan/Editan ketiga September 2017] Apa yang akan kamu lakukan jika kamu terbangun di masa depan? Itulah yang terjadi dengan Dika Ma...