"Oy! Fir!" Aku memanggil namanya untuk kesekian kalinya. Semakin lama perasaan tidak nyaman mendekapku semakin erat. Namun, kutepis perasaan itu dan kembali mengistirahatkan punggung dan kepalaku.
Paling aku salah denger, atau kalau enggak karena angin, batinku pelan seraya mencoba memejamkan mataku. Tapi, kalau ada pencuri masuk?
Tidak lama, beberapa hal yang berharga— emas, cincin, atau perhiasan—melangkahi pikiranku. Sontak aku melirik ke arah satu-satunya wanita yang tengah terbaring di ruanganku. Namun, bukan sosok Firma yang kudapati, melainkan sebuah kain putih yang menggantung. Ah! Lupa masih dipasang kain pembatasnya, keluhku saat menyadari kain pembatas masih menghalangi jarak pandangku. Tidak menunggu lama, aku—kembali—berusaha memanggilnya wanita itu.
"Firma, pstt, Firma," panggilku.
Hening.
"Firma, oy!" Berkali-kali aku berusaha memanggilnya, tapi tak kunjung ada pergerakan ataupun suara dari Firma.
Jangan-jangan .... Aku tergeming tidak melanjutkan perkataanku. Dengan segera aku membalikan tubuhku ke sisi lain, mencari nurse call yang kuletakan di samping bantal. Namun, apa yang kucari itu sirna sudah. Tombol itu tak berada di tempat aku menyimpannya. Dengan tangan kanan sebagai tumpuan, kuedarkan pandanganku ke sekeliling tempat yang mungkin tombol itu terjatuh.
Ah di sana, gumamku kala melihat tombol nurse call yang terjatuh di lantai. Bodoh! harusnya disimpan di tempat yang aman, ujarku mengutuk diriku sendiri.
Ingin aku segera melompat dari kasur dan mengamgilnya, tapi hal itu tidak bisa kulakukan. Kugeserkan tubuhku secara perlahan ke tepi ranjang, guna mempermudah usahaku. Dengan napas diujung tenggorokan dan dahi bermandikan keringat, aku berusaha mengambil tombol itu. Sedikit demi sedikit lantai ruangan kuraba, sesekali aku melirik ke bawah untuk membidik target yang kucari. Sesenti demi sesenti punggungku bergeser untuk membantu tangan yang pendek ini mengapainya.
Sial, ayo dikit lagi! Aku berguman dalam hati dan kembali membidik tombolnya. Tinggal sejengkal lagi. Semua berjalan lancar hingga aku berhasil menyentuh tombol itu dengan jari tengahku. Namun, secara bersamaan pula, kurasakan tarikan dari inti bumi yang membuat tubuhku mencium lantai putih, sehingga menimbulkan suara cukup keras.
"Aduduh ...," erangku seraya memegang punggung—yang mencium pertama kali lantai abu-abu—dengan tangan kiriku. Aku terjatuh dengan posisi punggung terlebih dahulu, diikuti kakiku kiriku yang masih tertahan di tepi kasur.
"Arghh," erangku lagi. Namun, beberapa detik kemudian sepotong bayangan membuatku tersadar dan segera bangkit. Mana tombolnya? gumamku seraya menghiraukab rasa nyeri yang menjalar di punggungku. Ah itu ... ayooo dikit lagi, bagaimana kalau dia di—....
"Ngapain kau?"
Aku terkejut mendengar suara yang mirip sekali dengan perempuan yang terbaring di sana. Beberapa detik kemudian, kudengar suara ranjang besi yang mengerit yang disusul dengan langkah kaki dari sisi kiriku. Detak jantungku semakin lama semakin melambat kala ekor mataku berhasil menangkap sosok Firma yang tengah berjalan menghampiriku.
Salah satu alisnya terangkat. Ditancapkannya sorot mata datar—juga heran—tepat ke wajahku. Beberapa detik itu terjadi percakapan tanpa kata antara aku dengan Firma. Firma masih terdiam membisu, begitupun dengan aku. Kulihat Firma mengedarkan pandanganya, mengamati kasurku dan diriku—yang mungkin di matanya terlihat kacau. Namun belum sempat aku berkata, Firma memutar gear yang mengatur tetesan NaCl dan meletakan besi penyangganya kantung infusan miliknya di atas kasurku. Dengan santai Firma merendahkan tubuhnya dan menunjuk nurse call yang ada di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Depan : Love, Friends, Fact and Hope
Fiksi UmumT A M A T #205 di Fiksi umum (16 Mar 2017) [Cetakan/Editan pertama Mei 2016] [Cetakan/Editan kedua Agustus 2016] [Cetakan/Editan ketiga September 2017] Apa yang akan kamu lakukan jika kamu terbangun di masa depan? Itulah yang terjadi dengan Dika Ma...