Chapter 26. Nyunda

166 30 13
                                    

Jam setengah sepuluh, gumamku kala melihat arloji tanganku seraya menguap dan meregangkan tubuhku. Aku dan Firma sekarang berada di Tasikmalaya—salah satu kota terdekat dengan kampung halamanku yang ada bandaranya. Sembari menunggu Firma di toilet, aku mencoba menyapu 360 derajat pandanganku di bandara pertama yang dibuat di kota ini. Cukup aneh, bagi seorang pemuda berusia dua puluh tahun tampak speechless melihat sebuah bandara yang terlihat seperti tujuh keajaiban dunia dimatanya.

"Maaf lama Dik," ujar Firma yang membangunkanku dari pengamatanku.

"Gak papa. Oh iya, makasih ya pulaunya."

"Pulau? maksudnya?" Aku hanya terkekeh pelan sambil menunjukan ke bahu kiriku. Firma tampak memicingkan matanya lalu seketika mukanya memerah.

"Udah, gak papa kok. Anggap aja cinderamata dari 2046," ledekku seraya tertawa terbahak-bahak. Sementara, Firma hanya mengembungkan pipinya.

"Ke Ciamisnya kita naik apa?" tanya Firma sesaat setelah meminum air mineral yang kubeli sebelumnya.

"Pertama, di zamanku belum ada landasan udara di Tasikmalaya, jadi aku gak terlalu tau posisi kita dimana sekarang. Kedua, jika kamu bertanya sekarang bisa-bisa kita muter-muter seharian di Bandara."

"Yaudah pakai google maps aja," ujar Firma seraya membuka tas kecil miliknya dan mengeluarkan handphonenya, namun tak lama kemudian ia memasukan lagi handphonenya.

"Kenapa gak pakai google?"

"Lowbat, sorry."

Aku menepuk jidatku sendiri.

"Ya orang lupa di charge," bela Firma.

"Ya sudah, orang kita juga masih di Tasik, gak mungkin nyasar ke Banjarmasin," ujarku lagi sambil melihat kesekeliling. "Sekarang, bawa aku keluar dari bandara ini, sehabis keluar aku yang mimpin ekspedisi ini." Firma mengangguk pelan dan berjalan di depanku. Sesampainya di luar, terlihat begitu banyak orang berlalu lalang ke sana ke mari. Tidak lupa, banyak mobil pribadi dan taksi yang tengah sibuk menurunkan calon penumpang bandara di sepanjang jalan di sisi kananku. Sedangkan di sisi lainnya, tampak ada beberapa baris taksi dengan pintu belakang yang terbuka.

"Sekarang gimana?" tanya Firma. Aku menunjuk ke salah satu taksi yang terparkir. "Yey itusih tanpa kau juga aku bakal milih itu!"

"Ya kamu pengen naik apa gitu?"

"MRT?"

"Di zamanku aja Jakarta belum ada MRT! Apalagi Tasik!"

"Yaudah." Firma berjalan terlebih dahulu ke salah satu taksi yang terparkir disana. "Pak ma—"

"Ah iya néng, badé kamana?" (Ah iya, mau kemana?), ujar seorang pria yang langsung keluar dari kursi penumpang. Firma yang terlihat bingung kala mendengar supir taxi itu bertanya kepadanya. Sontak, aku hanya tertawa melihat mimik mukanya yang penuh tanda tanya.

"Badé ka Ciamis pak, kinten-kinten sabarahanya?" (Mau ke Ciamis pak, kira-kira berapa) tanyaku seraya menyenggol Firma. Sekilas kulihat Firma terlihat cemberut seraya memasang wajah "Awas kau!"

"Ciamis palih manananya, punten?" (Ciamis sebelah mana ya, maaf?)

"Ciamis kotana pak, teras ti Alun-alunna wé, bélok saalit ka kénca." (Ciamis kota pak, nanti dari Alun-alun, belok sedikit ke kiri.)

"Oh, tilu puluh rébu wé lah, kumaha bade?" (Oh, tiga puluh ribu aja, gimana mau?) Aku mengangguk setuju. Ciamis-Tasik cukuplah jauh, jika menggunakan motor saja bisa menghabiskan waktu sekitar setengah jam. Tempo hari juga aku pernah pulang setelah mengikuti seminar ESQ 165 for Kids bersama ibuku dan itu bisa mencapai Rp60.0000 lebih. Dengan penuh senyum dan ramah, supir tersebut mempersilahkan kami untuk duduk.

Masa Depan : Love, Friends, Fact and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang