"Jadi saudara Maulana itu kebetulan ada di dekat kejadian, lalu berlari menghampiri dan mencoba melakukan pertolongan pertama, begitu?" tanya pak polisi bernama Ahmad.
Aku mengangguk pelan.
"Anda ahli di bidang kesehatan?"
Aku menggelengkan kepala.
"Terus kenapa anda berani untuk memberikan pertolongan pertama?"
"Saya pernah diajari tentang pertolongan pertama pada kecelakaan walau hanya sebagian kecil. Dalam kecelakaan ada dua kemungkinan, selamat atau tidak. Tindakan yang saya lakukan itu merupakan upaya agar korban selamat. Lagipula ...." Sejenak bayangan Firma yang tengah tergeletak membuat bibirku kelu.
"Lagipula ... apa?" tanya Pak Ahmad yang membuat bayang-bayang Firma sirna bersama dengan kerjapan mataku
"Ah, enggak, Pak. Maksud saya anu ... lagipula ...." Aku kembali teringat perkataan Kak Rizal. "... kita harus tetap menolongnya, 'kan? Apalagi korban beragama Islam. Sebab, pada saat-saat terakhir pun setan masih berusaha merebut keimanan kita."
Pak Ahmad tidak merespon perkataanku. Ia hanya menatapku dengan tatapan yang sama—tajam, tapi tidak dingin—seperti sebelumnya.
"Menurut saksi katanya anda mencari sesuatu di tas milik korban, apa itu?"
"KTP-E."
"KTP-E?"
"Iya."
"E-KTP maksudmu?"
Aku hanya mengusap wajahku dengan tangan kiri secara perlahan. "Iya, Pak, maksud saya itu," ujarku lirih.
"Memang kenapa dengan KTP korban?"
"Seperti yang saya katakan sebelumnya, ada dua kemungkinan pada setiap kecelakaan, selamat atau tidak. Kita harus bisa menyelamatkan korban sekaligus mencoba membimbingnya jika memang korban ... bapak tahu maksud saya, 'kan?"
"Iya, lalu?"
"Dari KTP-E milik korban, saya tahu korban bernama Rani, beragam Islam, golongan darah B. Karena Rani beragama Islam, saya bisa membimbingnya jika ...." Aku berhenti sejenak dan memilih tidak melanjutkan perkataanku. "... maaf, lalu, golongan darah korban adalah B. Maka, ketika ambulan datang saya bisa langsung memberi tahukan pihak medis kalau korban memilik golongan darah B. Dengan begitu akan lebih cepat dalam proses penyelamataan. Walaupun untuk memastikan golongan darah dari kartu identitas hanya diperlukan lima sampai delapan detik. Tetapi, hitungan tersebut sangat berarti bagi korban. Mengingat ada beberapa penyakit yang begitu berpacu pada waktu atau saya juga mengenal istilah Golden Hours."
"Tapi, bisa saja anda mengambil beberapa uang atau harta benda milik korban?"
Mendengar tuduhan itu, kursakan darahku bergejolak. Ada perasaan yang sama kala aku dituduh menggunakan narkoba sesaat setelah Firma masuk ke rumah sakit. Namun, tiba-tiba kepalaku mendengar suara yang amat kurindukan.
Dik, kau itu kalau nyelesein masalah pake kepala dingin! Jangan biarkan setan yang menyelesaikan masalahmu. Seketika aku teringat akan perkataan Firma tempo hari. Suaranya yang lembut tengiang-ngiang di pikiranku.
Kutarik napas panjang-panjang dan kuembuskan lewat mulut secara perlahan. Firma, kau benar, batinku. Kupandang mata Pak Ahmad dan kulemparkan senyumanku kepadanya.
"Selama saya di sana, saya tetap berada di dekat korban dan tidak meninggalkan TKP sampai saya dibawa ke sini. Silahkan geledah saya sekarang dan temukan barang serta uang, lalu cek 'adakah barang atau uang yang terdapat sidik jari dari korban' dengan begitu bisa dipastikan kalau itu adalah uang milik korban."
KAMU SEDANG MEMBACA
Masa Depan : Love, Friends, Fact and Hope
General FictionT A M A T #205 di Fiksi umum (16 Mar 2017) [Cetakan/Editan pertama Mei 2016] [Cetakan/Editan kedua Agustus 2016] [Cetakan/Editan ketiga September 2017] Apa yang akan kamu lakukan jika kamu terbangun di masa depan? Itulah yang terjadi dengan Dika Ma...