Chapter 29. Petunjuk

138 28 0
                                    

"Assalamu'alaikum, permisi," ujar Firma ke rumah bibiku yang kebetulan suaminya sekaligus pamanku merupakan Wakil RT di kampungku.

"Wa'alaikumsalam," terdengar suara dari dalam. Tidak lama seorang lelaki keluar dengan rambut yang dipotong pendek, berbadan tinggi. Aku memandang wajahnya dan mencoba mencocokan rupanya dan beberapa wajah yang tersimpan di ingatanku tapi tidak ada yang cocok. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?"

"Ah, kami lagi mencari rumah, kebetulan dari koran yang kami lihat di daerah sini ada rumah yang dijual," jelas Firma. Sebenarnya aku sudah mempersiapkan drama yang langsung to the point ke rumahku, namun di tengah perjalanan dari rumah makan, Firma menemukan koran dan menemukan rumah yang memang dijual di wilayah rumahku. Merasa mendapat kesempatan aku berniat merombak drama yang baru, namun Firma melarangku dan meyakinkanku untuk menyerahkan semuanya kepadanya. "Percaya padaku Dik!" ujar Firma sambil memegang koran bekas yang tertiup angin, matanya berapi-api membuatku menyerah dan menjadi pemeran pembantu untuk Firma. Kulihat Firma masih bercengkrama pelan bersama lelaki cepak di hadapanku.

"Oh, kami juga baru menikah kemarin, jadi, ya, sekalian bulan madu." Firma segera mengengam tanganku.

"Oh, iya-iya kebetulan memang ada, tapi bukan saya yang punya rumahnya, mau saya antar?"

"Ah tidak-tidak, kami memang sudah melihat-lihat sebelumnya, tapi kami ingin mendengar dari tetangga sekitar calon rumah kami, seperti sejarahnya, pemilik sebelumnya dan lain-lainya," elak Firma. Lelaki itu mengangguk paham dan mengizinkan kami masuk.

"Bu, ada tamu bikinin teh manis tiga?" ujar lelaki itu.

"Aduh, maaf jadi ngerepotin nih."

"Gak papa. Oh iya, kenalkan saya Rafi, kebetulan saya disini juga RT di daerah sini."

"Ah saya Firma, ini suami saya Aoshiro. Kebetulan dia blasteran orang Jepang sama Indo. Sedikit sudah bisa ngobrol Bahasa Indonesia tapi masih malu-malu."

Aku menjabat tangan lelaki itu yang bernama Rafi. Tidak lama seorang wanita yang aku duga itu istrinya Rafi datang sambil membawa tiga teh manis dengan nampan. Mungkinkah ini Rani? Satu-satunya anak perempuan bibiku, pikirku dalam hati.

"Ini istri saya, Rani." Yappari, (Sudah kuduga) batinku. Aku segera memberikan kode kalau ada orang yang aku kenal kepada Firma.

"Jadi rumah yang itu siapa pemiliknya sebelumnya?" tanya Firma basi-basi terlebih dahulu.

"Oh, yang hendak di jual itu rumahnya pak Syam, kebetulan dia rencanya pindah ke luar kota karena ia dipindah tugaskan," jawab pak Rafi lagi. "Kalau soal luasnya ...." pak Rafi mulai menjelaskan dengan panjang lebar. Firma sesekali bertanya-tanya tentang sejarah, aliran air, listrik, sampai menanyakan geografi daerah sini seperti sungai, gunung, bahkan menanyakan hal mistis yang terjadi. Merasa cukup—ditambah Firma sudah menginaj-injak jempol kakiku—aku segera memperhatikan rumahku yang berada tepat di depan rumah bibiku. Aku segera keluar rumah berdiri di teras menjalankan sesuai skenarioku yang dibuat oleh Firma. Terlihat beberapa puzzle kenangan masa kecilku di halam rumah ini. Rumah yang sederhana, dan sangat nyaman diantara rumah manapun.

"Kenapa?" tanya Firma.

"Ah, nandemo arimasen," (Ah, tidak apa-apa) ujarku pelan sambil tetap memandang rumahku.

"Kata suami saya, rumahnya bagus. Kalau yang ini rumahnya punya siapa ya pak?" Aku memandang wajah Firma sedikit kaget karena salah mengartikan perkataanku, Oh iya, lupa gue, pan lagi nyelidikin rumah ini.

"Ah, itu ... sebentar, Bu ...," panggil pak Rafi. Tidak lama terjadi perbincangan rahasia yang tak terdengar olehku. Ada apa ini? tanyaku dalam hati.

"Itu rumahnya gak dijual," ujar Rani.

"Oh, kalau boleh tau siapa pemiliknya ya?"

"Itu dulunya rumah Pak Hasanudin, tapi semenjak wafat rumah itu jadi rumah kosong."

Aku tersentak kaget mendengar kata wafat terlontar dari mulutnya, Tenanglah, semua mahluk hidup pasti bakal mati, tinggal waktu yang menjawab kapan mahluk hidup bakal mati. Firma terlihat memandang ke arahku, aku mengedipkan mataku pelan-pelan sebagai kode untuk melanjutkannya.

"Oh, kalau anaknya ada bu?" tanya Firma lagi.

"Anaknya itu ada dua orang yang pertama perempuan, yang kedua laki-laki, cuma kami juga gak tau pasti posisinya dimana mereka," jelas Rani lagi.

"Kalau namanya boleh tau?"

"Aduh lupa lagi kalau itu, maklum saya juga kurang dekat, waktu itu saya masih SMP sedangkan mereka yang satu sudah berkeluarga, yang satu lagi kuliah," ujar Rani. "Cuma dulu pernah denger anaknya yang laki-laki katanya kecelakaan luka parah, terus dibawa tapi entah kemana, saya juga kurang tau, soalnya anak laki-lakinya agak tertutup, begitupun yang perempuannya."

"Mungkin udah wafat yang laki-lakinya juga," ujar Rafi.

Kembali kudengar denyut jantungku sendiri. Tenang ... kita tidak tahu kapan kita wafat. Firma kembali melirik ke arahku, aku mengangguk tanda menyudahi saja.

"Ah baiklah terima kasih pak, kami Insha Allah kesini lagi segera, permisi pak Assalamu'alaikum," ujar Firma sambil menarik tanganku.

"Sekarang kita gimana Dik?" tanya Firma, terlihat wajahnya sedikit khawatir dengan keadaanku.

"Kita main aja dulu ke Alun-alun," ujarku pelan sambil tersenyum. Firma masih memasang wajah khawatir namun tidak ku hiraukan.

Sengaja aku habiskan waktu siangku berteduh di taman kota yang begitu terkenal di Kabupaten Ciamis. Melihat indahnya air mancur menjadi ciri khas Alun-alun Ciamis yang terlihat berbeda dengan zamanku dulu. Entah karena sekarang terlihat lebih tertata kios-kios makanan yang ada, atau karena suasana hatiku.

"Dik," ujar Firma yang baru datang dari masjid dan membangunkan lamunanku. "Sekarang gimana? Udah mau jam empat sore."

Aku menghela napas. "Padahal udah tau resikonya, tapi kok sakit ya," ujarku sambil memandang langit. Ibu... apa yang harus kulakukan? selintas terbayang pepatah ibuku ketika aku jatuh sakit ultikaria tempo hari.

"Semua cobaan termasuk penyakit berasal dari Tuhan, kita berobat semaksimal mungkin ke dokter, makan obatnya teratur, dan memasrahkan kembali ke Allah. Maksimalkan usaha kita, pasrahkan hasilnya, ikhlaskan kehendak-Nya." Aku tertunduk dan berdo'a, memohon petunjuk dan jawaban dari semua ujian ini.

"Lho Dika? Firma?"

Aku menoleh ke suara yang memanggilku.

"Eh, Dokter?"

***

Dipublikasikan pertama kali:
26 Juni 2016
Dengan sedikit pengubahan:
19 Januari 2017

Masa Depan : Love, Friends, Fact and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang