C-12 : Collapse

50 7 0
                                    

"Semuanya, tolong jangan panik!"

Aku mengaduh saat tubuh-tubuh panik itu berlari tak tentu arah, tak sengaja menabrak tubuhku yang tetap berdiam diri di posisiku berdiri.

Peringatan dari ketua OSIS lewat mic diacuhkan begitu saja. Aku pun mencoba mencari celah untuk menyingkir dari jalan, mencari tempat untuk berteduh dari serpihan yang menghujani kami.

"SEMUANYA, TOLONG TENANG!!"

Suara lantang ketua OSIS pun menggema diseluruh penjuru sekolah. Banyak dari mereka pun terdiam.

"SECEPATNYA KALIAN CARI TEMPAT BERTEDUH! JANGAN PANIK! SEMUANYA HARUS MEMBERIKAN RUANG!!"

Aku menghela napas lega, akhirnya keributan pengunjung dan siswa pun mulai tenang. Namun tanganku mulai aneh, kulihat jemariku mulai keunguan, kristal itupun tumbuh di ujung-ujung jari. Tidak, Tuhan, apa yang telah terjadi padaku? Ini tidak benar kan? Virus itu ternyata belum menghilang dari kehidupan kami!

Terasa getaran di saku rokku, handphone-ku mendapatkan panggilan. Rupanya pemadaman listrik itupun telah selesai. Akupun menerima panggilan tersebut.

"MINORI-CHAN, KAMU DIMANA???" suara nyaring Mamo-ni terdengar diseberang sana.

Aku terlambat menyelamatkan gendang telinga dari suaranya itu, kutekan beberapa kali telinga dengan telapak tangan yang belum terkena kristal, baru kembali menempelkan handphone ke telinga. "Aku masih di sekitar audi-"

"Jangan kemana-mana, onichan akan menjemput kamu disana."

"Jangan, Mamo-ni. Jangan keluar dari gedung sekolah," larangku. Ia ber-eh saat kubilang begitu. "Mamo-ni belum keluar dari gedung sekolah, kan?" Ia bergumam iya. Aku menghela napas lega, "Kalau begitu jangan keluar, nanti Mamo-ni kena serpihan virus ini. Suruh semua orang menutup jendela agar yang belum terkena serpihan aman dari jangkitan ini."

"Tapi Minori-chan-"

"Kumohon, Mamo-ni!" Mamo-ni terdengar terperanjat di sana. "Sampai keadaannya aman jangan keluar. Katakan hal itu pada orang-orang yang belum keluar gedung. Sepertinya serpihan yang berterbangan di langit inilah yang menyebabkan orang-orang terjangkit kembali. Mamo-ni bisa lihat dari jendela."

"Minori-chan..."

"Tenang saja, aku rasa dokter akan segera datang."

"Minori-chan," suara Mamo-ni terdengar serius, "bersembunyilah. Jika ada tim penyelamat yang datang tapi tidak sesuai dengan perkiraan jangan perlihatkan diri. Aku tak mau mereka membawamu pergi untuk dijadikan sampel."

"Mamo-ni terlalu kha-"

"Tidak, Minori-chan, aku serius. Entah pihak baik atau pihak jahat yang duluan datang memberi bantuan kita tidak tahu. Pokoknya lihat dulu keadaan sekitar. Aku akan keluar, tunggu disana."

"Oni-"

Tuut-tuut... Panggilan ditutupnya.

Aku menghela napas lemas. Yang benar saja, dasar keras kepala! Sudah kuperingati tetap juga mau keluar. Namun aku bisa tersenyum disaat seperti ini, karena kakakku tak meninggalkanku seorang diri. Ia akan datang melindungiku.

Tiba-tiba saja perasaan takut pun menyebar lewat aliran darah, aku merasa menggigil ketakutan.

Aku kembali masuk ke auditorium lewat pintu belakang, mencari tempat untuk bersembunyi. Tumpukan kardus sangat cocok untuk menyembunyikan tubuhku. Akupun menunduk, memeluk kaki erat. Entah kenapa rasa waswas ini semakin menjadi dan membuatku gila.

Kristal ungu di telapak tanganku semakin menyebar, hampir menutupi telapak tangan kananku. Isakan tangis harus kubendung membayangkan kejadian lima tahun lalu, dimana dengan cepat kristal ini mengambil alih tubuhku, menyelimutinya dan mendorongku ke dalam kegelapan hingga....

Aku melihat kota mati itu....

Dreet...dreet....

Aku tersentak saat merasakan handphone-ku bergetar kembali. Apa kali ini dari ibu? Ya Tuhan, kenapa aku lupa untuk menelepon ibu? Apa ibu baik-baik saja di kantor? Tapi mungkin Mamo-ni telah menelepon ibu hingga ia terdegnar sangat khawatir padaku. Kulihat di layar handphone, nomor yang meneleponku bukanlah dari ibu maupun Mamo-ni, juga bukan dari teman-temanku.

"H-hai'..." suaraku terdengar bergetar menjawab panggilan ini.

"Minori-chan, kau tak apa?" tanyanya cemas diseberang sana.

"Humm..." aku tak bisa mengeluarkan suara, terlalu gamang.

"Kudengar Serah Pharmacy meledak, gedung itu dekat dengan sekolahmu, kan? Apa kau sudah mencari tempat berteduh? Sekarang ini aku dalam perjalanan menuju Aoyama. Tunggulah bantuan pertama disana."

"Cepatlah..." gumamku terasa tak jelas. Air mataku mengalir berharap suaraku terdengar olehnya. Separuh kesadaranku sudah mulai menghilang, aku tak dapat lagi merasakan detak jantungku sendiri. Kristal itu memang sudah menutupi telapak tanganku sepenuhnya, aliran darah semakin menjadi menyesakkan dada. Aku tak tahu berapa lama lagi bisa bertahan. Dengan sisa-sisa kesadaran kukeluarkan seluruh kekuatanku mendorong udara keluar dari kerongkongan membentuk kata mohon padanya. "Cepatlah datang...."

Aku dapat merasakan sakitnya sebagian tubuhku yang terjatuh ke lantai. Pandanganku mulai mengabur, handphone yang kupegang terlepas dari genggaman membiarkan orang yang berada di seberang sana memekik-mekik tak jelas, namun aku tahu ia saat kini memanggil terus namaku agar aku tetap terjaga.

Namun aku tak punya kekuatan lagi untuk menggerakkan tubuh, mengeluarkan suara untuk meminta tolong. Bahkan dinginnya lantai tak lagi terasa, pekikan sana-sini di luar sana pun tak lagi terdengar. Semuanya semakin samar dan hanya tinggal pandangan gelap menuju kehampaan.

Maaf, Ouma-san, sepertinya inilah akhirku. Senang bisa berkenalan denganmu. Selamat tinggal....


**GC: TRoE**


London bashi ochita, ochita, ochita. London bashi ochita, my fair lady...
London bashi ochita, ochita, ochita. London bashi ochita, my fair lady...

Langkahku terhenti di hadapan gadis yang bernyanyi.

"I-Inori-san?"

Senyumnya tak pernah berubah sama sekali saat bertemu denganku. "Kita bertemu lagi."

Aku mengangguk. "Lama tak jumpa ... sejak mimpi terakhir Anda menyuruhku bernyanyi."

"Tapi kau tak bernyanyi," ucapnya sedih.

"Ma-maaf...."

"Tak apa. Jika sudah waktunya bernyanyilah."

"Tapi ... sepertinya ... aku tak bisa bernyanyi lagi."

"Kenapa?"

"Aku tak akan bisa kembali lagi untuk ... hidup."

Ia menelengkan kepala seakan bingung dengan ucapanku. "Kamu masih hidup kok."

Aku terkejut.

Ia tersenyum, "Bukalah matamu."

Akupun perlahan dapat merasakan segala kesadaran kembali berpusat, sistem sarafku kembali bekerja hingga aku dapat perlahan membuka kelopak mata. Awalnya yang kulihat begitu menyilaukan, rupanya itu hanyalah cahaya dari lampu yang bersinar di langit-langit. Mataku sesekali mengerjap, hingga aku dapat mendengar suara panggilan di sekitarku.

"Minori-chan!"

GC: The Righthand of Eve [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang