Kota mati.
Kota ini memiliki gedung-gedung berwarna putih pucat, seakan semuanya hanyalah lukisan goresan pensil, tepian bangunan yang berwarna hitam dengan dinding yang terlihat pucat.
Kota ini masih dikelilingi oleh kristal ungu yang menyelimuti beberapa bagian bangunan dan jalanan. Pemandangan yang sama sejak pertama kali kulihat.
Tak ada siapapun, hanya bangunan tanpa kehidupan, karena itu kuanggap sebagai kota mati, kota yang tak berpenghuni yang tak kuketahui dimana keberadaan pastinya.
Lala..lala...lalala..la..laa..laa...
“Suara ini...”
Aku tahu suara ini.
Langkah kupercepat mencari sumber suara yang bernyanyi itu. Dimana? Dimana? Kota ini begitu luas, aku tak tahu harus mencarinya dimana.
Napasku tersengal karena telah berlari mengelilingi kota namun belum jua bertemu dengan sang pemilik suara. Aku tahu aku sedang bermimpi, namun aku ingin bertemu dengan orang yang bernyanyi ini.
Kututup kedua mataku, memfokuskan pendengaran untuk mencari sumber suara itu lebih benar lagi. Suara itu malah semakin terdengar. Semakin mendekat.
Kubuka mata.
“Inori-san?”
Gadis bersurai merah muda panjang itu tiba-tiba ada tepat di hadapanku. Ia tersenyum dengan bibir tipisnya, menatapku tanpa merasa terganggu akan kehadiranku yang telah membuatnya berhenti bernyanyi.
Dalam hati mendorongku membuka mulut untuk menanyakan suatu hal yang selama ini menghantuiku. “A-ano Inori-san—”
“Watashi no uta suki?” (kamu suka laguku?)
Aku mengangguk. “H-hai’. Ano—” (iya, itu—)
“Jya, utatte.” (kalau gitu, lagukanlah)
“Eh?”
“Utatte.” (bernyanyilah)
Aku tak mengerti maksudnya. Kenapa ia menyuruhku menyanyikan lagunya? Padahal lagu itu.. lagu itu hadir akan perasaannya untuk seseorang. Kenapa harus aku yang menyanyikannya?
“Aku ... tak mau menyanyikan lagumu!”
Ia tampak terkejut dengan kalimatku barusan meski raut wajahnya tetap terlihat tenang.
Dengan cepat kuluruskan maksud perkataanku barusan, “Karena lagu itu tercipta khusus untuk seseorang yang kamu sukai. Kamu telah menyanyikan untuknya, untuk apa lagi kunyanyikan?”
Ya, untuk apa kunyanyikan kembali? Itu hanya menambah goresan luka bagi siapapun yang mendengarnya, terlebih oleh seorang pria yang telah kau tinggalkan. Hati kecilku berbisik tak ingin melihat ekspresi wajah sedih orang itu karena kunyanyikan lagunya.
“Meski begitu...,” aku mengulum senyum, “aku tetap menyukai lagu Inori-san.”
Kata itu lebih tepat menyakini diri sendiri.
Ia, Inori-san tersenyum senang. “Jya, utatte.”
Aku menghela napas, menyerah. “Ii desuka?” (tak apa?)
Ia menganggukkan kepala. “Ii.” (ya)
Setelag mengatakan itu Inori-san menghilang dari pandanganku, bersamaan dengan kota yang seakan melebur. Penglihatanku perlahan kelam.
Aku terbangun dari tidur, sedetik sebelum jam alarm berbunyi. Untuk beberapa saat kubiarkan suara alarm memenuhi kamar. Dengungan alarm dalam telinga tak dapat mengusik kebingunganku akan mimpi yang barusan kudapati. Apa itu bisa kuanggap mimpi?
**GC: TRoE**
Beberapa minggu lagi bunkasai yang dinanti dalam di caturwulan-2 akan berlangsung di sekolahku, SMA Aoyama. Klub cenimatography yang kuikuti akan membuat sebuah film pendek dan ditampilkan dalam acara inti. Otomatis sebulan ini kami sibuk mengurus segala urusan, dari cerita, siapa dan apa yang diperankan, kostum, peralatan pengambilan film dan editing sekaligus.
Klub cenimatography terbilang populer di sekolah tapi anggotanya hanya sepuluh orang termasuk ketuanya. Awal pendaftaran banyak murid tahun pertama yang mendaftarkan diri dalam klub ini, namun makin lama banyak yang tidak betah lalu mengundurkan diri. Kenapa? Kalian bisa tahu sendiri nantinya.
Karena jumlah anggotanya hanya sepuluh orang, bisa dihitung dari siapa dan apa saja peran masing-masing anggota. Kurang satu bagi ketua yang akan menjadi penulis cerita dan sutradara, kurang dua untuk cameraman, kurang satu untuk pemegang perekam suara, kurang dua untuk editing, tinggal empat orang yang akan menjadi pemain tetap. Bagi enam orang lainnya akan menjadi pemeran tambahan. Dan tahu saja, empat pemain utama ini ialah anak tahun pertama, ya, termasuk aku.
Aku memilih klub ini karena aku suka membuat video, tapi tugasku telah diambil alih oleh yang lebih senior. Jadi, mau tidak mau aku harus menuruti segala peraturan klub ini.
“Dari kalian berempat siapa yang paling bagus suaranya? Aku ingin ada penyanyi satu di dalam ceritaku!” putus sang ketua, Hasabaki-senpai langsung saat masuk ke ruang klub.
Ia menunggu salah seorang dari kami murid tahun pertama untuk unjuk diri. Namun tak ada satupun dari kami yang bersedia mengajukan diri, hanya saling menatap berharap ada yang mau menuruti keinginan sang ketua yang nyentrik itu. Aku suka bernyanyi, tapi kalau untuk dalam pengambilan gambar kurasa tidak.
Hasabaki-senpai berdecak kesal. “Ah, sudah kutebak tak ada yang tunjuk tangan. Kalau gitu sekarang juga satu per satu kalian nyanyi, sekarang juga!”
“Heeeh??” kaget kami berempat serempak.
“Heh apa?! Ayo cepat nyanyi!”
Kami berempat saling mendorong yang lain untuk unjuk gigi terlebih dahulu. Sikap kami yang malu-malu tapi mau ini membuat Hasabaki-senpai kesal.
“Aaakh! Kalau gitu kamu duluan! Yang paling laki dari yang lain!”
“Aku??” kaget Aozu-kun anak kelas 1-C, yang paling tampan diantara kami berempat, tentu saja karena hanya dia satu-satunya laki-laki diantara kami.
“Cepat, cepat, cepat!!” paksa Hasabaki-senpai.
Para senior yang lain hanya diam saja menyaksikan pemaksaan keinginan sang ketua. Mereka lebih memilih mengutak-atik kamera ataupun handphone-nya.
Aozu-kun pun bernyanyi, hanya beberapa baris kalimat. Kemudian satu per satu, bergilir mengeluarkan suara emas hingga tiba digiliranku. Meski pernah bernyanyi di depan ibu, Mamo-ni Kayo dan Anko, tapi begitu dilihat beberapa pasang mata akupun mulai gugup. Tatapan mata Hasabaki-senpai layaknya juri dalam ajang pencari bakat, masih menunggu sang peserta untuk mengeluarkan suara terbaiknya.
"Dare mo inai douro de ryoute wo hiroge aruita, me wo tojite kara watashi wa sotto kokoro no naka de chiisana kake wo shitanda...."
“Nah! Ini! Ini!!” Hasabaki-senpai bertepuk tangan. Ia mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan hidungku. “Kalau gitu Toyone Minori, kamu yang akan berperan sebagai penyanyi!”
Semua kaget, termasuk aku!
Di-diputuskan seenak hatinya!!
![](https://img.wattpad.com/cover/75358039-288-k975478.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GC: The Righthand of Eve [END]
FanficToyone Minori ialah salah seorang anak yang selamat dari peristiwa Lost Christmast ke-4. Lima tahun telah berlalu dan kini ia seorang remaja SMA dengan kehidupan normalnya... Suatu hari ia bertemu dengan seorang pria bernama Ouma Shu... Beberapa min...