Aku dan Anko berhasil menggapai pos polisi terdekat.
Napas kami tersengal saat akan meminta bantuan. Aku tak dapat mengeluarkan satupun kata karena masih terbayang Kayo yang terbaring dengan kristal ungu menutupi beberapa bagian tubuh dan wajahnya.
Ankolah yang dapat bertahan. "Ada orang jahat yang menyerang teman kami!"
"Di mana?" tanya polisi itu mencoba dengan suara tetap tenang.
Anko pun memberitahu dimana dan seperti apa ciri-ciri orang yang menyerang kami. Polisi itu langsung menghubungi rekan-rekannya untuk meminta bantuan.
Ia pun meminta kami tetap tinggal di pos polisi bersama seorang polisi lain yang berjaga dan agar kami memberi keterangan lebih lanjut, sedangkan ia akan pergi menuju lokasi kejadian untuk melakukan tindakan pertama dan melihat keadaan Kayo.
"Hubungi rumah sakit!" pintaku.
Hanya kalimat itu yang dapat kukeluarkan, aku masih terisak mengingat kejadian singkat saat tangan pria aneh itu menembus dada Kayo, mencabut sesuatu dalam tubuhnya, membiarkan tubuh Kayo terjatuh di jalan dan kristal-kristal ungu itupun tumbuh.
Polisi yang bersama kami mengangguk cepat dan langsung menghubungi rumah sakit. Namun aku belum mengatakan kondisi Kayo yang terinfeksi virus. Saat ia telah terhubung dengan rumah sakit, memberitahu lokasi kejadian akupun merampas telepon itu.
"Beritahu Ouma Haruka-sensei," ucapku panik, "korban terinfeksi virus orang itu!" ucapku tak karuan dengan hipotesa asalan.
Suara orang diseberang telepon sana terdengar terkejut.
Polisi yang bersama kami kembali mengambil teleponnya dariku. "Diharapkan segera!" pintanya kembali. Dan panggilanpun ditutup. "Aku juga akan menghubungi orangtua kalian. Beritahu nomor telepon rumah kalian dan korban," perintahnya kemudian pada kami berdua.Anko mengangguk, aku kemudian. Polisi itu tak memaksaku untuk bicara, ia meminta keterangan pada Anko yang masih bisa bicara meski matanya masih berkaca-kaca menahan air mata keluar. Aku terus saja menahan sesak di dada dan denyutan di tangan kanan ini.
Tuhan, kuharap Haruka-sensei cepat datang, tangan kanan ini serasa ingin meledak!
Pandanganku mulai memudar, lebih sekedar karena air mata yang mengairi pandanganku. Sekali detakan jantungku berdetak keras, dan saat itu aku kehilangan kesadaran.
Brakk!!
"MINORI-CHAN!"
⭐⭐⭐
Tubuhku terasa ringan, seakan bisa dengan mudahnya terbawa angin. Namun mataku terbuka dan mendapati pemandangan kota yang sama kembali. Aku tahu ini hanyalah mimpi.
Kupikir aku akan bertemu kembali dengan Inori-san, namun nyatanya....
Ia menatapku dengan tatapan penuh keheranan, dengan kening berkerut, lalu memandangku dengan jengkelnya. Mungkin ia sama besar denganku, mungkin lebih muda dariku, aku tak dapat menebaknya karena ini pertama kalinya aku bertemu dengannya.
Ia menunjuk ke batang hidungku. "KAU...! Kau bukan Eve, juga bukan Adam! Kau bukanlah orang pilihan! Kenapa kamu terpilih mendapati Kekuatan Raja?!"
"Ke-kuatan Raja?" heranku.
Kuperhatikan tangan kananku, baru kusadari ada simbol aneh di punggung telapak tangan kanan ini.
"Huh! Mungkin juga... aku bisa bermain dengan nasibmu. Daripada mati kebosanan di sini."
"Eh? Kamu juga tinggal disini? Bersama Inori-san?" tanyaku heran.
"Inori? Gadis itu? Ia hanya bagian dari duniaku."
"Bagian?" aku semakin tak mengerti. Ia terlihat sangat jengkel dengan ketidakmengertiannya diriku akan 'dunia'nya itu. Aku mencoba memahami maksudnya. "Maksudmu bagian dari dunia ini?"
Ia pun mulai menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. "Ternyata kau pintar! Baiklah, kubiarkan kau bermain dalam permainan ini. Dan tujuanmu ialah. . . . . kau harus mengalahkan Adam buatan itu, kau boleh melakukan apapun terhadapnya, bahkan membuhnya." Ia tertawa kecil kemudian.
Keningku yang kini berkerut, mana mungkin aku bisa membunuh orang lain?
"Dan kau harus melepaskan posisi Eve buatan dan mengembalikan Kekuatan Raja padaku. Aku sangat benci permainan yang bukan buatanku. Berbanggalah, karena aku telah memberimu sebuah hadiah pertanda syarat kau bersedia bekerjasama denganku. Sudahlah, cepat pergi sana. Suh, suhh~!"
"Eh? Semudah itukah aku pergi??" kagetku. "Kamu siapa?" tanyaku kemudian.
Ia tak memberi jawaban.
Terlambat untuk bertanya kembali, pandanganku mulai memudar, memutih, kemudian gelap.
Mataku mengerjap dengan penuh keheranan, dengan mudahnya aku membuka kedua mataku tanpa ada proses memori dalam otakku. Aku langsung duduk dan melihat sekelilingku.
Ru-ruang inap lagi, kah?
Aku tertawa kecil, menertawai diri sendiri karena begitu lemah.
Kemudian kesadaranku yang lain menampar keras dalam diri.
Terbayang sosok yang terbaring lemah di jalan.
"KAYO!"
Aku langsung turun dari ranjang dan berlari ke luar. Saat membuka pintu sosok Haruka-sensei mencegahku keluar.
"Kamu sudah sadar? Cepat sekali?" herannya. "Dan ... langsung segar bugar." Ia tersenyum lega.
"Temanku, Kayo, keadaannya??" tanyaku panik.
Haruka-sensei memegang kedua pundakku. Kedua kelopak matanya menurun sesaat, dua matanya memberiku isyarat tak baik.
"Maaf, Minori-chan...."
Tubuhku terasa membeku. "Ma-maaf maksudnya?" aku tak mau menebak ekspresi wajahnya.
"Ia ... telah tiada. Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi kanker itu."
Aku menggeleng tak percaya. "Tidak, itu tak terjadi ... tidak...."
"Minori-chan, tenanglah."
Haruka-sensei semakin memegang erat pundakku. Sedih dan kecewa mengalir di setiap pembuluh darah, aku tercekat oleh perasaan bersalah.
"Kamu ingin melihatnya?"
Haruka-sensei memberiku kesempatan terakhir bertemu dengan Kayo.
Aku mengangguk tanpa suara dan buliran air yang mulai turun dari pelupuk mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
GC: The Righthand of Eve [END]
FanfictionToyone Minori ialah salah seorang anak yang selamat dari peristiwa Lost Christmast ke-4. Lima tahun telah berlalu dan kini ia seorang remaja SMA dengan kehidupan normalnya... Suatu hari ia bertemu dengan seorang pria bernama Ouma Shu... Beberapa min...