Epilog

92 14 0
                                    

Setelah hari itu esok harinya aku kembali pulang bersama Mamo-ni. Samukawa-san beserta Haruka-sensei yang mengantar kami. Itu juga karena sensei ikut memeriksa keadaan warga Aoyama yang terjangkit virus saat hari itu.

Sensei juga memberi penjelasan pada ibu agar tak cemas dengan keadaan kami berdua, apalagi melihat Mamo-ni yang pulang dengan tulang belikatnya tergeser, hingga tangannya harus digendong.

Warga Aoyama tak lah separah Roppongi yang menjadi pusat penyebaran virus Ishii Hotaka. Hingga tak ada yang perlu dicemaskan, aku sempat khawatir akan kondisi ibu seorang diri di rumah. Tapi syukurlah beliau baik-baik saja.

Beberapa hari kemudian setelah semua warga diperiksa aktifitas kembali berjalan normal.

Akupun kembali bersekolah. Semua teman sekelasku tampaknya baik-baik saja, wajah ceria mereka yang mengatakannya padaku.

Tatapanku kembali nanar melihat bunga bakung putih dalam pot kecil berisi air di atas meja Kayo. Bunga yang menjadi simbol belasungkawa itu selalu diganti dengan yang baru oleh seseorang yang tak lain ialah sang ketua kelas.

Ia memanjatkan doa setelah meletakkan bunga itu. Aku ikut melakukannya di sampingnya.

"Kuharap ... Kayo tenang di alam sana," ucap Anko lirih.

Aku hanya bisa mengangguk. Dalam hati aku berdoa hal yang sama, dan berharap virus itu tak lagi menimpa kami.

Kami pun duduk ke bangku masing-masing. Tak lama bel pun berbunyi. Wali kelas kamipun masuk untuk homeroom, mengecek kehadiran dan memberi ceramah selama lima belas menit.

Wali kelas kami itupun memberitahu kalau guru Bahasa Inggris kami tak masuk hari ini jadi selama beberapa jam pelajaran ke depan kami disuruh belajar sendiri. Siswa tanpa guru di kelas??

Setelah wali kelas kami keluar semua langsung berhamburan kesana-kemari dalam kelas, bermain, ngobrol berkelompok, bahkan ada yang memanfaatkan waktu untuk tidur.

"Kudengar waktu virus mewabah parah di Roppongi, mereka mendengar suara seseorang bernyanyi," ungkap Anko memulai pembicaraan.

Mereka yang mengelilingi tempat dudukku dan Anko mengangguk antusias.

"Katanya karena lagu itu kankernya luruh dan mereka sembuh! Pemerintah tak lagi harus memberikan obat stage-4!"

"Aneh ya?"

Mereka mengangguk antara percaya dan tidak. Aku ... seperti merasa suatu hal akan rumor itu. Tapi aku diam saja.

**GC: TRoE**


Pulang sekolah kuputuskan untuk berziarah ke kuburan Kayo. Tak hanya aku, Anko dan Tamura Mariko ikut bersamaku.

Aku baru tahu dari Mariko saat aku tertidur selama duabelas hari itu ia dan Kayo mulai akrab, lebih tepatnya saat bunkasai berlangsung mereka sering berkomunikasi soal kue.

Kami bertiga tiba di depan kuburan Kayo, berdoa untuknya dari dalam hati masing-masing. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata, nanti dua temanku ketularan mewekku.

Setelah itu kami jalan pulang bersama. Mariko harus berpisah jalan dengan kami setelah keluar dari arena pemakaman.

Aku dan Anko jalan bersama hingga tiba di jembatan, Anko harus menyeberangi jembatan sedangkan aku berbelok menulusuri tepian sungai.

Namun Anko belum juga melangkahkan kakinya, ia takut hal buruk terjadi padaku di tempat ini, di tempat yang sama dimana Kayo....

"Sudah tak apa kok, Anko-chan."

GC: The Righthand of Eve [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang