C-17 : the truth of

48 9 0
                                    

"Minori-chaaan!!"

"Ka-Kayo!"

Kayo langsung memelukku yang barusan sarapan. Dari balik punggung Kayo, sosok Anko pun hadir tersenyum ke arahku. Ia langsung ikut memelukku dari balik punggung Kayo.

"Aduh, sesak, teman-teman..."

Kayo dan Anko melepaskan pelukan.

"Ah, maaf," ucap Kayo. Ia pun mencubit kedua pipiku. "Kami sangat mengkhawatirkanmu tahuu!!"

Anko mengangguk, matanya terlihat berkaca. "Sebelumnya kami kesini tapi tak boleh menjengukmu. Akhirnya...." Anko menitikkan air mata, Kayo pun begitu.

"Su-sudah dong, jangan nangis," ucapku agak kalut. "Lihat, aku sudah baikan kok, jangan tangisi aku kayak mau mati dong!"

Mereka pun menyeka air mata masing-masing dan mulai tertawa kecil.

"Kapan keluarnya, Minori-chan? Kami kangen jalan bareng sama kamu!"

"Apa keadaan di luar sudah mulai membaik?" tanyaku.

"Hujan buatan masih dilakukan hingga lusa," jawab Anko. "Tapi kami sudah diberi vaksin, jadi tak apa pergi keluar. Namun sekolah masih di liburkan."

"Karena itu~ aku ingin kita jalan-jalan! Mumpung belum sekolah!" rengek Kayo.

"Kau ini!" Anko menjitak lunak kepala Kayo. "Minori-chan baru saja sembuh, permintaanmu terlalu berlebihan tahu!"

"Habis...."

Aku tertawa melihat keakraban yang seakan sudah lama tak terlihat di hadapanku. Kayo dan Anko yang melihatku tertawa ikut tertawa juga. Namun tak lama seseorang mengetuk pintu ruang inapku dan membukanya tanpa memberi aba-aba.

Haruka-sensei, beliau langsung memberi sapa hangat pada dua temanku. "Temannya Minori-chan ya?"

Dua temanku itu terlihat terpesona akan dokter satu ini. Mereka mengangguk serempak kemudian.

"Maaf ya, mengganggu pertemuan kalian, tapi aku harus memeriksan Minori-chan untuk sementara waktu."

Ada rasa kecewa terbentuk di wajah mereka berdua. Namun Anko langsung mengangguk, ia memegang pundak Kayo. "Tak apa, sensei, mengetahui kondisi Minori-chan yang sudah siuman telah membuat kami lega. Minori-chan, kami permisi dulu, ya. Besok kami akan berkunjung kembali."

Aku mengangguk. "Nanti kuhubungi lewat telepon ya."

Kayo memajukan sedikit bibirnya. "Ya sudah kalau gitu kita pamit dulu."

Mereka berdua pun pamit pada Haruka-sensei, membungkukkan badan sedikit, dan kemudian meninggalkan ruanganku.

Haruka-sensei kemudian memberikan tatapan serius padaku. "Kita akan memeriksamu tapi tidak di sini. Kamu bisa berjalan?"

Aku mengangguk nurut. Aku turun dari kasur, memakai sendal. Haruka-sensei memegang pundakku, seakan membimbingku berjalan bersamanya keluar. Kami berdua meninggalkan ruangan.

Mamo-ni sudah pulang pagi sekali sebelum aku sarapan, aku yang menyuruhnya untuk istirahat di rumah. Ibu sendiri nanti siang akan menengokku.

Aku dibimbing masuk ke lift, lantai atas? Ouma-san bilang kalau ruang kerja ibunya di lantai atas ini.

Lift pun berdenting, pintu terbuka. Haruka-sensei memandangku dengan isyarat untuk mengikuti langkahnya. Di lantai ini jarang orang berlalu-lalang. Haruka-sensei pun membuka sebuah pintu dengan passcard, pintu itu terbelah dua, kami pun masuk ke ruangan itu.
Para orang dewasa berjubah putih terlihat sibuk kesana-kemari dalam ruangan ini. Ada yang memberitahu kondisi hujan buatan yang segera diluncurkan satu jam lagi. Ada yang berkutat dengan layar-layar di hadapannya, dan masih banyak lagi.

"Ouma-sensei," panggil salah seorang berjubah putih. Ia terlihat lebih muda dari yang lain, memberikan beberapa lembar kertas pada Haruka-sensei.

Sensei mengangguk dan berbicara pada orang itu dan kemudian dilanjutkan dengan anggukan. Orang itupun berlalu, kembali dengan tugasnya, mungkin, dan Haruka-sensei menyuruhku duduk di satu-satunya set sofa yang ada di sana. Di salah satu sofa bulat itu sosok Ouma Shu-san ada disana.

"Sebenarnya..." Haruka-sensei mulai duduk di hadapanku, di samping Ouma-san, "aku belum bisa memberitahukannya padamu apa yang kusuntikan dalam tubuhmu, Minori-chan. Tapi lambat launpun akan kuberitahu. Pada ibu dan kakakmu tak bisa kujelaskan lebih rinci, takut mereka tak mengerti sama sekali. Namun mereka tahu kalau cairan itu bukanlah obat penawar bagi virus yang menjangkit tubuhmu."

Kepalaku menerka-nerka cairan seperti apa yang disuntikan ke tubuhku. Namun aku masih belum mengerti dan tetap diam untuk mendengar penjelasannya.

Haruka-sensei masih ragu menjelaskan semuanya padaku. Kediamannya membuat Ouma-san sadar, anaknya memegang erat tangannya, memintanya agar dapat kuat untuk menjelaskannya padaku.

"Cairan ini ... bekerja sebagai penawar virus namun tidak membuat virus itu menghilang, malah membuatnya bisa bekerja dengan baik dalam tubuhmu dan menyesuaikan diri dengan baik."

Barulah aku terkejut mendengar hal itu. itu Berarti aku masih belum seutuhnya terlepas dari virus mematikan ini?

"Kemungkinan berhasilnya hanya satu persen, hal yang sangat beresiko untuk mencobakannya pada orang yang belum tentu DNA-nya dapat menyesuaikan diri dengan cairan itu dan virusnya."

Aku masih terdiam tak percaya dengan yang barusan kudengar. Tubuhku semakin bergidik ngeri karena virus itu masih ada dalam tubuhku.

"Sudah kukatakan sebelumnya, vaksin biasa dan obat penawar berhasil membebaskan pasien hingga stage-3. Tapi kejadiannya dalam tubuhmu lain, virus itu telah bersarang dengan baik dalam tubuhmu. Jika tidak dengan cairan ini kemungkinan akan mengambil alih tubuhmu."

Kupegang tangan kanan yang entah kenapa terasa berdenyut sakit.

"Namanya Void Genome." Kali ini Ouma-san yang bicara. Mataku teralih padanya. "Cairan itu sudah pernah masuk ke tubuhku dua kali, karena sebuah alasan. Cairan itu memberiku sebuah kekuatan diluar akal dan ilmu pengetahuan. Karena cairan itu aku bisa menolong teman-temanku saat itu."

Kulihat kembali tangan kanannya yang tak berdaya itu.

"Itulah resikonya. Tapi tenanglah, Minori-chan," ia bicara selayaknya dapat melihat wajahku yang begitu terkejut mendengar penjelasan berat ini, "kekuatan itu kupakai karena harus melakukan perlawanan terhadap pihak tak bertanggungjawab terhadap masyarakat-"

"Itu juga karena didukung adanya void dalam tubuh setiap manusia," kali ini Haruka-sensei menambahkan, "tapi kini void itu sudah tidak ada dalam tubuh siapapun. Jadi kekuatan itu hanya akan 'menganggur' dalam tubuhmu, dan memberi kekuatan melawan virus. Hanya itu."

"Ba-bagaimana jika virus ini menular ke keluargaku? Ke teman-temanku?" tanyaku panik
.
Haruka-sensei mengelum senyum. "Untung saja virus ini tak menular. Virus yang berterbangan di udara dua minggu lalu terbatas dan tak berevolusi, dapat kami tangani dengan baik, dan tak ada korban meninggal. Tapi dengan tubuhmu ... seakan ia mendapat inang yang pantas untuk ditumpangi."

Aku tertegun mendengar pernyataan itu, tubuhku terasa mati rasa mendengar kalimat terakhir. Apa ... itu akhirnya hidupku tak akan lama? Apa selama hidup aku akan terus bersama dengan virus ini? Bagaimana kalau virus ini diturunkan pada garis kelahiran?

Tak terasa butiran air mengalir dari kedua pelupuk mataku. Kedua telapak tanganku langsung menutupi wajah yang tertekuk jelek ini. Suara isakku terdengar pelan namun dapat menahan langkah di sekitarku berhenti. Aku tak seharusnya menangis, tak baik, malu dengan orang-orang di sekitar, lebih terhadap Haruka-sensei dan Ouma-san. Tapi ... tapi aku ... tak bisa hidup jika seperti ini....

"Minori-chan." Panggilan lunak itu menghampiriku. Ia melepaskan kedua telapak tanganku menjauhi wajah, menggenggamnya dengan erat. "Daijoubu. Semuanya akan baik-baik saja. Untuk itu Haruka dan yang lainnya disini membantumu."

Kulihat wajah Haruka-sensei yang kembali tersenyum tulus padaku, dan orang-orang dewasa berjas putih yang satu per satu tersenyum saat kutatap, seakan semuanya mengatakan hal yang sama dengan Ouma-san.

Kulupakan tangisanku, kutangkis semua kegalauan dalam diri, aku harus berani menghadapi yang sudah menjadi 'takdir'ku. Aku harus menerimanya.

Perlahan kepalaku mengangguk, dan menarik kedua ujung bibirku ke atas.

"Terimakasih..."

GC: The Righthand of Eve [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang