"Minori-chan!!"
Seseorang memelukku dengan erat, suara isaknya sedikit memekakkan telingaku.
"Sa-sakit, onichan," keluhku.
Ia melepaskan pelukannya, menatapku dengan mata berkaca. "Maaf. Onichan sangat senang akhirnya kamu siuman. Onichan dan kasan sangat mengkhawatirkanmu! Teman-temanmu datang bergantian menjengukmu."
Datang bergantian menjengukku?
Aku tersenyum senang ada yang mengkhawatirkan keadaanku.
Tanpa melihat lengan kanan aku bisa merasakan jemariku kembali tanpa sekatan kristal yang tumbuh, sepertinya selama tertidur lenganku telah sembuh. Tapi ... bukannya itu agak ganjil? Bukannya virus itu tak ada obat penawarnya?
"Onichan, sudah berapa lama aku pingsan?"
Mamo-ni menghela napas lemas. "Dua belas hari, hampir dua minggu."
Aku terenyak, mulutku hanya bisa terbuka tercengang. "Selama itukah?" gumamku tak percaya.
"Ah, onichan harus telepon kasan. Kamu tunggu dokter datang memeriksa keadaanmu, ya."
Aku mengangguk. Mamo-ni pun keluar dari ruang inap dimana aku berada. Pintu pun tertutup, sekilas aku bisa melihat lalu-lalang orang sibuk di luar. Aku melihat jendela, di luar sudah terang, kuperkirakan sudah siang sekitar jam satu atau dua.
Pikiranku melayang: apa yang terjadi selama aku tidur? Apa virus telah dikendalikan? Apa kami masih bisa sembuh total dari virus itu? Sekarang keadaan di luar bagaimana?
Tak lama pintu ruang inapku terdengar dibuka lembut oleh seseorang. Aku menoleh ke arahnya, wanita dewasa berambut coklat panjang sedikit bergelombang. Apa ia dokter? Jika iya, ia adalah dokter tercantik yang pernah kutemui. Karena biasanya dokter tak menggerai rambutnya.
Ia berdiri di sampingku dengan mengumbar senyum ramah. "Bagaimana keadaanmu, Toyone-chan?" tanyanya.
Ia memakai stetoskop, memeriksa kecepatan degupan jantungku, memeriksa kedua mataku dengan senter kecil, kemudian memegang kedua tanganku, membalik-balikannya seperti mencari apa ada lagi kristal yang tertanam di tubuhku.
"Apa kamu merasa pusing?" tanyanya kembali.
Kurasakan kepalaku. "Sepertinya tidak."
Ia tersenyum lalu mengangguk, mencatat perkembanganku di kertas yang ia bawa. "Aku sangat khawatir kamu tak akan bisa lagi bangun."
Aku terkejut mendengar kalimat itu.
"Semuanya yang terkena serpihan kristal itu berangsur membaik sejak pertama kali disuntikkan vaksin, butuh tiga hari mereka bisa pulih. Memang ada yang lebih, tapi tak ada yang tidur berhari-hari seperti kamu."
Aku terdiam membeku mendengar kalimat itu. Aku tak bisa membayangkan betapa cemasnya ibu dan Mamo-ni menungguku siuman. Pantas Mamo-ni memiliki kantong hitam di kedua matanya.
"Mungkin saat kamu berada di luar tak sengaja memegang serpihan tersebut kemudian memijatnya dengan jarimu. Serpihan rapuh itu menjadi butiran kasat mata yang kemudian menyebar masuk dalam pembuluh darah dan mulai menginfeksi tubuhmu. Jari-jari kiri yang memecahkan kristal itupun terkena imbasnya."
"Dan kristal itu tumbuh di jari-jariku, hingga menutupi telapak tangaku," sambungku sedih.
Ia mengangguk. "Sepertinya dugaanku benar."
Aku yang mengangguk kemudian. "Karena aku penasaran dengan butiran yang terempas dari kepulan asap itu." Aku sedikit tertawa mengingat kecerobohanku.
"Tapi kini kamu sudah siuman, itu cukup." Ia terdiam sesaat. "Seharusnya aku tak boleh memberitahu pasien akan kondisinya, tapi kurasa aku harus memberitahukannya padamu. Karena terlihat ibu dan kakakmu tak mau memberitahunya padamu, mereka sangat khawatir."
Aku mengangguk. "Terimakasih telah memberitahukannya padaku, sensei."
Ia mengangguk. "Karena kamu adalah gadis yang pemberani, yang sudah berjuang melawan virus ini jadi tak ada yang perlu dicemaskan. Oh iya, boleh kuambil kembali darahmu sebagai sampel?"
Aku mengangguk. Dokter itupun dengan cekatan memasukkan jarum kecil panjang itu di lengan kiriku, terasa nyeri saat darahku dipompa keluar oleh jarum itu, sesaat kemudian rasa sakit itu diganti dengan rasa dingin menenangkan saat kapas yang telah diberi alkohol ditempelkan di tempat penyuntikan. Dokter itu melap daerah suntikan itu perlahan, darahnya pun berhenti keluar dari lubang kecil bekas suntikan tersebut.
"Meski begitu ... Shu sangat mengkhawatirkanmu. Ia langsung memintaku merawatmu."
Shu? Aku terkejut mendengar nama itu. Ouma Shu? terkaku dalam hati. Memoriku kembali mengingatkanku di saat terakhir kesadaranku sebelum pingsan, aku memang sempat berbicara dengannya lewat telepon. Ternyata ia benar-benar kembali ke kota ini.
Tanpa sadar aku tersenyum.
"Anak itu... meski dirinya yang harus dikhawatirkan masih juga sempat mengkhawatirkan orang lain." Dokter itu tertawa kecil. "Ia sangat bersikeras akan—ups, tak seharusnya aku bicara lebih jauh. Tapi jika kuberitahu kamu sudah siuman pasti ia tak akan lagi ingin pergi."
Pergi kemana? Namun kalimat itu tak sempat keluar dari mulutku.
"Tak apa kupanggil Minori-chan?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk. "Kalau gitu aku boleh meminta suatu hal padamu? Untuk sehari ini saja tahan Shu disampingmu ya, agar dia tak lagi cerewet ingin ke luar sana. Di luar masih ada serpihan kristal yang menyebar, kami para dokter dan peneliti harus memecahkan kasus ini agar tak ada lagi yang terinfeksi."
Pipiku terasa panas saat diminta hal itu. Namun aku masih bisa mengangguk padanya.
Dokter itu tersenyum, "Kalau gitu kumohon, ya?" pintanya sambil mengedipkan sebelah mata. Dan ia pun melangkah keluar meninggalkanku sendiri di ruangan ini.
Kulihat kembali ke luar jendela. Ternyata ... di luar masih menyebar virus mematikan itu.
Mamo-ni bilang aku sudah tertidur selama dua belas hari.Dokter tadi itu bilang kalau aku lebih parah dari yang lain. Sepertinya vaksin biasa yang diberikan pada penderita lainnya tak cukup, dan selama tidur ternyata tubuhku dengan kuatnya bertahan melawan virus itu. Vaksin tidak cukup menyembuhkanku? Berarti dokter di sini bekerja keras melakukan apa saja agar nyawaku selamat.
Ya Tuhan, aku sangat bersyukur, sangat banyak orang yang membantuku. Aku merasa telah bangkit kembali dari kematian dua kali.
Sesaat aku tergelak akan pemikiranku sendiri, terlintas sesaat aku seperti kucing yang memiliki sembilan nyawa. Sebanyak itukah nyawaku?
Tapi... aku tak boleh lengah. Jika begini terus pun tubuhku tak akan bertahan. Aku tak sekuat pahlawan yang ada dalam cerita dongeng maupun kartun. Namun setidaknya aku bisa melakukan suatu hal, menerima permintaan dokter tadi untuk mencegah Ouma-san keluar, menghindarinya dari virus berbahaya itu.
Aku dapat merasakan virus itu menjalar di pembuluh darah, seakan menyedot tenagaku, menguras kesadaranku hingga membuat tubuhku menggigil. Perasaan itu sudah cukup membuatku merasakan jurang kematian di ujung kakiku yang melayang tanpa dasar tanah.
Tak lama pintu ruang inapku diketuk dari luar dua kali, dan pintu itupun dibuka oleh seseorang. Ia masih berjalan mengandalkan tongkatnya untuk meraba benda apa saja di hadapan yang tak tampak olehnya.
============================
Ohayou minna~Maaf sibuk, gak bisa banyak komen tiap akhir chap.
Tetep setia sama ff TRoE ya~ tinggalin jejak yaa dengan komen dan vote.
Arigatou~
╥﹏╥
KAMU SEDANG MEMBACA
GC: The Righthand of Eve [END]
ФанфикToyone Minori ialah salah seorang anak yang selamat dari peristiwa Lost Christmast ke-4. Lima tahun telah berlalu dan kini ia seorang remaja SMA dengan kehidupan normalnya... Suatu hari ia bertemu dengan seorang pria bernama Ouma Shu... Beberapa min...