Bagian Lima: Kita Melenggang Dalam Susah Bersama

14.4K 1.3K 288
                                    


Aku yang meredam rasa ini hanya mampu terpikat. Sejatinya aku tak pernah mendustai apa yang kurasa. Aku belajar banyak hal, namun sampai saat ini aku belum pernah mengerti bagaimana cara Tuhanku mempertemukan kita. Atau bagaimana cara Tuhanku menjodohkan kita. Aku tidak pernah tahu dan semuanya mengalir begitu saja. Aku sadar, aku telah mendamba. Jatuh sayang, lalu berakar erat dan terikat.

***

Selama sekian tahun aku bercengkerama dengan fotografi yang dikombinasikan dengan adanya pemandangan alam, baru kali ini aku terobsesi dengan adanya objek lain di sana. Prinsip yang awalnya kuyakini sebagai prinsip tetapku sebagai seorang pemburu foto akhirnya harus luruh begitu saja. Aku mulai ingin menempatkan objek itu dalam setiap kemurnian yang kutangkap dalam lensaku. Aku menginginkan dia berada di manapun lensaku bergerak.

Objek itu adalah seorang lelaki manis yang akhir-akhir ini menempel padaku, dengan Serintil -- nama kelinci jantan ah, atau betina yang dia adopsi dari gunung -- di pelukannya atau dengan cilok bakar di tangannya. Objek itu adalah sosok yang senang sekali berkunjung ke UKM Fotografi. Dia akan bertanya-tanya banyak hal pada Gian, yang akan dibalas dengan jawaban ngawur ketua biadab UKM Fotografi.

"Mas, kenapa Mas Gian senang mengambil gambar aneh-aneh?"

Gian menaikkan alisnya.

"Yang sudah umum tidak menarik lagi, Aftan..."

"Kalian juga memiliki selera dalam fotografi? Kukira kalian akan menangkap apapun dari lensa kalian itu."

Gian tergelak.

"Sama seperti kalian anak-anak Hiking, kami memiliki objek favorit kami. Gunung apa yang kamu suka?" Gian bertanya cepat. Aku tidak ingin mendengarkan percakapan mereka, namun aku tertarik mendengar pendapat Aftan.

"Aku cinta Bromo, Mas."

"Kenapa bukan puncak Mahameru seperti yang Irjo banggakan?"

Aftan menggeleng.

"Puncak Mahameru memang indah, tetapi aku lebih sayang dengan Bromo. Aku cinta keramahan penduduknya yang masih kental dengan budaya dan juga ibadah mereka."

Aku ingat kalau Aftan beragama Hindu. Pantas saja kalau dia suka Bromo. Gunung itu memiliki pura tempat ibadah umat Hindu di sana, juga memiliki upacara tahunan yang disebut dengan Kasada. Umat Hindu akan berbondong-bondong sembahyang di pura, lalu dilanjutkan membawa sesajen ke kawah Bromo. Aku pernah ke tempat itu, hanya untuk mengambil beberapa foto Bromo yang didominasi dengan gurun pasir.

"Sama dengan kalian, kami juga punya selera masing-masing. Seseorang akan jadi spesialis di bidangnya kalau dia benar-benar mencintai sesuatu itu." Jawaban Gian terdengar sok bijak. Ingin sekali aku melemparkan sandal ke arahnya. Cih!

"Sama dengan mas Adnan yang senang dengan pemandangan alam?" Aftan mengerjap imut. Ya Allah, dia umur berapa sebenarnya? Kenapa hanya dengan tingkah spontan itu membuatnya terlihat super imut dan manis sekali?

Ingin kugigit.

Astaghfirullah...! Aku sadar aku mulai mencandu, namun tidak bisa seperti ini, Adnan! Kamu tidak diizinkan untuk bermain-main di dunia semu itu! Hal yang realistis saja kamu tidak ingat. Apa? Skripsi itu, lho!

Allahu akbar!

"Iya, pintar! Tetapi kamu belum tahu, ya... Adnan sebentar lagi akan berubah aliran." Gian berbisik, namun aku bisa mendengar ucapannya. Firasatku tiba-tiba buruk. Gian itu mirip iblis yang bisa menebak apa yang kupikirkan. Dia menakutkan sekali. Bisa berubah sewaktu-waktu. Sialan!

"Mas Adnan ingin mengubah aliran?" Aftan menanggapi ucapan Gian dengan kerutan di alisnya. Aku masih belum paham apa yang Gian katakan, namun aku mulai was-was.

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang