Bagian Satu: Awal Sebuah Persahabatan

37.2K 2K 300
                                    


Dalam sekejap aku melangkah, tersenyum dalam maklum. Aku sadar pertemuan adalah tentang bertatapnya dua komponen yang berlainan. Sayangnya aku sendiri tak pernah tahu bagaimana harus berdiri. Aku sudah melangkah selama sekian tahun hidupku, berjuang dengan langkah mantap. Kali ini aku akan mencoba tersenyum dan mendongak. Untuk berharap.

***

Pertama kalinya aku mengikuti apa yang hatiku inginkan. Sudah banyak hal yang kusukai, namun dalam sekejap kulepaskan begitu saja. Aku melangkah cepat, menuju sebuah tempat yang bahkan tak pernah kujamah sebelumnya. Tawa masih bergumul di lorong kampus. Beberapa dari mereka menjerit kesal karena coretan-coretan di atas lembar proposal skripsinya. Ada beberapa yang terlihat mengantuk dengan kantung mata menggelap. Aku tersenyum miris. Sudah seharusnya aku bergabung bersama mereka.

Hanya saja aku tak mampu. Langkahku terlalu pengecut untuk memulai mengajukan lembaran tebal itu. Aku terlalu lemah untuk menerima coretan-coretan dari dosenku. Tidak, tidak! Aku melangkah cepat, menghindari gerombolan pejuang skripsi itu. Senyum miris masih terukir di bibirku. Aku kabur, melarikan diri dari kewajiban yang seharusnya sudah kupikul di semester ini.

HPku bergetar. Aku merogoh HPku, memperhatikan layarnya sekilas. Ada nama temanku yang tertulis di layar. Teman dekatku, Gian.

"Dimana?" Dia bertanya pelan, tanpa bertele-tele.

"Kampus." Aku menjawab tak kalah ketusnya. Kali ini aku tidak tahu apa yang sedang dia inginkan. Dia terbahak kencang di sana.

"Masih sibuk dengan skripsi, Nan?"

Sungguh, aku terusik dengan apa yang dia tanyakan. Bertanya hal-hal sensitif seperti itu membuat hatiku seperti sedang disindir dan dihakimi. Bukan berarti aku tak peduli dengan skripsi, aku hanya ingin beristirahat sejenak setelah sekian semester bergelut dengan tugas. Lagipula, aku sudah kapok mendapat pertanyaan semacam, "Jelaskan variabelnya!" atau semacam, "Cari metode yang lebih baik!". Aku tidak mampu mendapatkan pertanyaan teoritis dan logis seperti itu.

"Jangan menyindir! Ada apa?" Kali ini aku menyerah dan bertanya tujuan Gian sebenarnya. Dia salah satu orang yang dengan senang hati akan menyeretku pergi, menelusuri hobi yang sudah sejak lama kugeluti.

"Ke UKM. Sekarang!"

Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana harus bereaksi dengan caranya setiap hari. Gian akan membawaku pergi untuk mengabadikan sesuatu. Aku cinta dunia fotografi. Aku terjun sejak beberapa tahun lalu, ketika untuk pertama kalinya aku sampai di sebuah tempat indah bernama B29. Sebuah tempat yang mereka sebut dengan Negeri Awan. Hingga sampai hari itu datang, aku sudah mengakar erat pada tempatku.

Aku jatuh cinta pada sebuah profesi yang telah bercokol menjadi hobi. Fotografer alam, begitu aku menyebutnya. Sayangnya hal yang kucintai begitu banyak. Sangat banyak. Aku cinta dengan Mamah dan Ayah. Aku cinta adik-adikku, Albi dan Maisha. Si kembar yang senang sekali bergaya untuk kutangkap dalam lensaku. Aku cinta bakso. Aku cinta mie ayam. Aku cinta motor matic-ku. Juga....

Dia.

Pertama kalinya, aku tak mengenal dia. Kami bahkan bukan teman kelas ataupun teman yang dipertemukan oleh hobi. Aku tidak pernah mengenal dia sebelumnya. Bahkan ekspektasiku tidak terlalu tinggi. Maksudku, aku tidak berharap banyak akan pertemanan kami. Kami tidak memiliki hobi sama, jadi itu sama sekali bukan hal yang perlu kami lakukan bersama.

Aku dipertemukan di tempat itu.

Kalian ingin mengetahuinya? Kalian ingin tahu bagaimana cara Allah membuat sebuah cerita dalam hidupku. Ketika Dia mempertemukanku dengan seseorang, yang awalnya berkali-kali berkeliaran di sekitarku namun aku tak begitu memperhatikannya. Sayangnya lensaku jauh lebih dulu menangkap pergerakan itu. Inilah, inilah kisahku bersamanya...

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang