Bagian Lima Belas: Bahkan Seorang Kakak Bisa Iri Pada Adiknya

11K 1K 137
                                    


Banyak kisah yang dilatarbelakangi oleh cinta. Aku tidak tahu bagaimana cara mereka mengeja cinta itu, hanya saja aku sudah tahu bagaimana rasanya. Aku memiliki seseorang yang bisa menjadi alasanku untuk tetap tersenyum. Aku mencintainya. Menyayanginya. Merindukannya. Aku menjadikannya sebagai malam untuk kurindukan. Menjadi siang untuk kuperjuangkan. Lalu kemana lagi ada tempat senyaman di sana?

***

Beberapa bulan berlalu sejak kepindahanku ke tempat yang baru. Aku bekerja, Aftan kuliah. Meski jarak kami jauh, namun... Ah, kalau kalian membahas rindu... jangan ditanya bagaimana hatiku mencoba untuk menghubunginya tiap saat. Tiap pagi Aftan akan selalu meneleponku, mengingatkanku sholat. Aku juga akan mengingatkannya tiap jam enam pagi agar dia sembahyang. Kami jauh secara fisik, namun hatiku sudah lama merengkuhnya.

"Semangat, ya kerjanya Mas!" Aftan mengirim pesan seperti itu tiap pagi. Meski aku sudah hafal dengan pesan serupa, namun tetap saja hatiku selalu berbunga tiap kali membacanya.

"Kamu juga, Sayang! Semangat! Mas sayang kamu."

"Aku sayang Mas juga..."

Rindu ini gila. Aku tidak pernah tahu kalau rindu akan membuatku mencandu seperti ini. Aku tidak pernah tahu bagaimana cara hatiku mengingatnya. Setahuku, hatiku merespon spontan atas apa yang Aftan lakukan terhadapku. Aku tersenyum geli menatap layar HPku. Hari ini tidak ada Aftan versi fisik di dekatku.

Aku rindu hingga gila.

Langit masih menangis sesekali, namun senyuman Aftan masih ada dalam hatiku. Hari ini aku mencoba memusatkan perhatianku pada pekerjaan. Meski aku tahu kalau ada semangat Aftan di dalamnya. Kelak jika aku sudah punya cukup rezeki, aku akan membeli sebuah rumah. Rumah itu akan kutinggali bersama Aftan. Sayangnya aku cukup naif untuk berpikir soal itu. Aku tidak memikirkan bagaimana pendapat kedua orang tuaku. Aku hanya berharap bahagia bersama lelaki tersayangku.

Aku ingin lelaki ini yang kulihat pertama kali dalam tidurku. Aku mencintainya lebih dari apapun juga di dunia ini. Aku ingin bahagia bersamanya meski hanya sebentar. Aku tidak pernah tahu bagaimana Allah menggariskan takdirku. Siapa yang tahu kisah kami nantinya? Apa kami akan terus bersama, ataukah aku harus menikahi orang lain? Atau mungkin Aftan yang bisa saja memisahkan diri dariku lalu memilih orang lain. Kami sama-sama tidak pernah tahu bagaimana masa depan. Kami bahagia. Itu saja untuk saat ini. Cukup seperti itu agar kami tahu bagaimana cara menghargai rasa. Aku akan menghujadi Aftan dengan bisikan cintaku.

Hingga suatu hari rindu yang sudah bersemayam di hatiku cukup lama ingin segera dilukiskan. Aku lembur selama seminggu hanya untuk menemukan waktu libur yang lebih panjang. Aku ingin menemui Aftan sesekali, lalu memberinya kejutan.

Lalu hari itu aku pergi ke kampusnya. Aku sengaja tidak naik motor dan naik kereta api seperti biasanya. Aku hanya tidak ingin lelah di jalan, lalu tertidur tanpa menghabiskan waktu bersama Aftan. Aku tidak ingin terjadi, jadi lebih baik aku naik kendaraan umum.

Kampus masih sama seperti dulu, kecuali beberapa bangunan baru yang sudah berdiri tegak. Aku melangkah ke arah UKM seperti biasa. Kali ini tidak ada orang yang bisa kukunjungi. Gian dan Irjo sudah lulus tiga bulan lalu. UKM Fotografi diganti kepengurusannya oleh orang-orang baru. Meski begitu mereka tahu siapa aku.

"Tumben Kak Adnan ke sini..." Ketua UKM Fotografi yang baru terkejut melihatku. Namanya Adrian. Aku kenal dia karena Gian. Gian menjelaskan banyak hal padaku, tentang anak-anak baru yang akhirnya membuat kegiatan rutin di UKM. Aftanku sudah mulai fokus dengan skripsinya. Padahal beberapa bulan lalu dia masih menangis dan meneleponku. Katanya dia merindukanku. Di tempat KKN-nya jarang sinyal, jadi sulit sekali menghubungiku.

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang