Bagian Dua Belas: Kebenaran Akhirnya Terungkap

10.6K 1.1K 233
                                    


Allah, aku tahu kalau dosa adalah komponen yang tak akan pernah bisa lepas dari diriku. Aku memujaMu, namun dalam waktu yang sama aku memujanya. Aku memuja seseorang yang telah Kau katakan haram bila aku bersading dengannya. Tetapi Allah, tidakkah Kau telah memberiku rahmat berupa cinta? Aku tidak pernah memohon padaMu agar aku jatuh cinta padanya, namun Kau memberikannya. Aku tidak pernah meminta padaMu agar aku memilikinya, dan sampai saat ini aku masih menginginkannya. Tidakkah adil bila aku meminta hal serupa atas apa yang telah Kau anugerahkan padaku? Bila memang dosa, izinkan aku mencicipi dosa itu sekejap saja, Allah. Tidak bisakah?

***

Apa yang Irjo sarankan sudah kulakukan. Aku tidak bisa mundur. Mencuri perhatian Aftan berarti mengorbankan harga diri yang sejak dulu kupertahankan. Mencari perhatian Aftan merupakan hal aneh yang dulu tidak pernah terlintas dalam bayanganku. Aku mengagumi lelaki itu, namun hingga saat ini aku tidak menemukan alasannya mengapa. Dia lelaki. Agamanya berbeda denganku. Tidak masalah dengan agama, karena kami diciptakan untuk menginterpretasikan Tuhan dalam hati kami masing-masing. Sayangnya Long Distance Relationship yang sesungguhnya adalah ketika kami punya rumah ibadah yang berbeda. Sayangnya... itu tidak jadi masalah untukku. Kami sama-sama lelaki. Sejauh apapun hubungan ini berkembang, aku yakin Mamah dan Ayah tidak akan pernah merestui anaknya bersanding dengan lelaki.

Meski hanya dia yang kucintai.

Sayangnya bila nanti Mamah dan Ayah memintaku menikah dengan seorang perempuan, aku akan mengatakan pada mereka. Menikah haram hukumnya bila hanya untuk menutupi kedok orientasiku. Aku tidak ingin menzalimi istriku nanti, aku tidak ingin membuatnya terluka. Apalagi bila anak-anakku nantinya tahu.

Kelak aku tidak ingin menikah dan akan mengabdikan diriku hanya untuk kedua orang tuaku.

Saat ini ada hal yang mulai menarik perhatianku. Aftan. Aku sudah mulai membuat gara-gara dengannya. Irjo mengatakan saran kurang ajar yang membuatku harus mendengarkan. Pasca pencurian Serintil kemarin, Aftan marah besar padaku. Benar-benar marah. Bahkan ketika aku membawa Serintil kembali pulang ke UKM, lelaki itu masih saja melengos padaku. Dia merampas Serintil, lalu menghindariku. Lamat-lamat aku mendengarnya bicara tajam. Separuh berbisik, namun ada amarah yang menguar dari suaranya.

"Mas Adnan sudah merusak kepercayaanku!"

Aku ingin tertawa, namun melihat Aftan yang melengos menjauh itu membuatku gemas setengah mati. Aku tidak akan minta maaf. Kalau memang menjadi orang baik di depan Aftan hanya dianggap sebagai seseorang yang biasa di hatinya, maka biarkan aku menjadi orang yang sialan sebentar saja.

Karena Aftan-ku dikelilingi oleh banyak orang baik, dia tidak akan pernah bisa melihatku yang sedang memendam rasa terhadapnya ini.

"Sejak kemarin aku belum memberi makan Serintil. Wortel di pasar sudah habis," teriakku kencang. Langkah Aftan berhenti mendadak. Aku berbohong. Mana mungkin aku tega membiarkan kelinci manis itu kelaparan. Aku hanya ingin membuat Aftan marah.

"Kenapa Mas baru bilang?!" Dia berteriak kesal, lalu berlari ke arah kandang Serintil. Dia meletakkan Serintil di kandangnya, lalu berlari kencang. Aku sempat menghadang jalannya untuk bertanya mau kemana dia.

"Aku akan mencari makan untuk Serintil! Mas dilarang mendekati kandangnya dalam radius lima meter."

Manis sekali, bukan? Lihat saja! Wajah melengos, mata tajam, bibir merengut imut, belum lagi tangannya yang bergerak gelisah. Aku ingin memasukkan dia ke dalam karung lalu membawanya pulang ke kontrakan. Aku ingin memenjarakan Aftan untuk diriku sendiri.

"Kejam..."

Aftan melangkah tidak peduli. Dia menghilang dengan motornya. Aku tahu kalau anak itu sudah mulai mengendarai motor kalau berangkat kuliah. Ketika Aftan sudah menghilang, aku mengeluarkan sayuran yang kubawa. Kuletakkan sayuran itu di kandang Serintil. Aku berbohong pada Aftan lagi.

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang