Bagian Delapan: Rasa Dalam Hati Siapa Tahu?

10.6K 1.2K 269
                                    


Rasa ini menyiksa, membuatku sengsara karena cinta. Aku tidak mampu berdiri dengan berani. Aku ingin mundur, namun aku terlalu menyayanginya. Aku sakit, namun aku berharap bisa sembuh karenanya. Rasa ini menyayat dari dalam, menggerogoti cinta yang terakar kuat dalam hatiku. Aku bisa apa? Aku tidak bisa apa-apa. Semua cinta yang kutanam seperti sedang mengkhianatiku. Aku bisa apa?

***

Dia benar-benar menjauh dariku. Hatiku sakit, hatiku menuntut. Aku ingin memeluknya, ingin berlari ke arahnya dan mengatakan betapa aku merindukannya. Sayangnya kalau aku melakukan itu lagi, aku takut Aftan pergi dan makin menjauh. Navers bahkan tidak mampu menyatukan kami. Aftan akan menunduk tiap kali melihatku, sementara aku harus menghindari Aftan. Aku tidak boleh menemuinya ataupun mengajaknya bicara. Mungkin ini pertengkaran ala orang dewasa. Kami sama-sama saling membisu hanya untuk mencari alasan. Aftan mencari alasan kenapa dia membenciku, jadi dia pasti akan mengatakannya. Aku akan segera memperbaiki salahku setelahnya.

Kami sering berkumpul di Navers hanya untuk membahas soal kerusakan alam. Deadline sudah selesai, namun acara pameran "Kampanye Lingkungan" masih belum dilaksanakan. Rencananya setelah ini. Karena itulah kami dikumpulkan lagi untuk membuat pameran. Ngomong-ngomong soal itu Aftan belum pernah melihat hasil jepretanku. Aku sudah mencetaknya ukuran poster dan memberinya pigura beserta kaca.

"Jadi, tolong bawa kreasi kalian dan tanda tangan..." Irjo masih saja tampil di depan. Wajahnya terlihat lebih gemuk. Ada kumis tipis yang melintang di atas bibirnya. Aku bingung dengan mereka semua. Kenapa liburan membuat trend kumis makin membludak?

Aku melangkah dan meletakkan dua pigura yang sudah kubungkus dengan koran. Tidak ada yang tahu selain aku dan tukang foto. Bahkan Aftan juga belum sempat melihatnya. Banyak kreasi dari teman-teman yang lain. Ada yang membuat robot dari koran bekas, ada yang membuat casing HP dari plastik bekas, ada yang membuat film dokumentasi, dan kreasi-kreasi lainnya. Kreasi itu dibuat sesuai dengan hobi mereka.

Aku meletakkan dua buah pigura di depan, lalu menandatangani lembar pengumpulan tugas. Aftan berjalan di belakangku setelahnya. Setelah menandatangani lembaran itu, Aftan kembali bergabung dengan kelompok yang lain. Navers jadi komunitas menakutkan untukku. Bagaimana aku bisa menahan rindu kalau dia berkeliaran di dekatku? Aku bisa saja khilaf lalu bertingkah gila sekarang.

"Memang kapan pamerannya?" Aku mengerjap pelan.

"Tiga hari lagi..." Irjo menyenggolku. "Ah, pacar kamu yang kemarin-kemarin itu perempuan sungguhan?"

Sialan!

"Dia perempuan, tetapi bukan pacarku!" Aku mendengus. Aku mati-matian membuat PM waktu itu dengan tulisan : "Maaf dibajak!"

Apa mungkin Aftan marah karena itu? Ah, tidak mungkin! Aftan bahkan sudah tahu setelah aku meneleponnya waktu itu. Aftan menjauh dariku tanpa sebab. Navers tanpa celoteh Aftan ibarat makan rujak tanpa kacang. Bukan rujak namanya. Mata Irjo menyipit ke arahku sejak tadi. Aku merasa seperti diintimidasi.

"Kalian kenapa?" Irjo menyenggolku kasar. Aku menoleh ke arahnya. Dia pasti curiga kalau aku dan adik tersayangnya tidak bersama. Biasanya Aftan menempel ke arahku.

"Apanya yang kenapa?"

"Kenapa tidak menempel?"

"Kami bukan lem!" Aku mendengus. Meski aku berharap sekali ada lem di antara kami, yang bisa membuat kami menempel satu sama lain. Irjo masih mengawasiku, lalu menaikkan alisnya.

"Kalian berdua bertengkar?"

Lagi-lagi aku menggeleng.

"Tidak."

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang