Bagian Sembilan: Berjarak Untuk Berhenti Sejenak

11.3K 1.1K 196
                                    


Sebenarnya aku belajar banyak hal dari sebuah rasa. Dengan rasa aku belajar untuk mengenal. Setelahnya aku belajar untuk mengerti. Aku mencoba memahami. Aku tidak salah ketika akhirnya rasa yang kupelajari itu membuatku mencandu, mengakar erat seolah sulit dicabut. Aku berdiri pada ketetapan hatiku tentang cinta. Aku sudah banyak belajar sebelumnya. Semuanya...

***

Aku naif. Mungkin benar kalau aku adalah orang paling melankolis dan sensitif yang ada di muka bumi ini. Dulu aku bertingkah sok cuek, padahal aku lebih peka dibanding orang lainnya. Kali ini aku menyadari kalau Aftan menghindariku bukan karena ulah iseng Jina waktu itu. Aftan menghindariku karena sikapku terhadapnya.

"Aftan, sekarang masih masuk bulan lebaran, lho!"

Aftan menunduk. Dia paham maksudku. Tidak ada gunanya menghindar satu sama lain seperti ini. Kami tidak biasa berpisah. Kami sudah terbiasa bersama, hingga teman-teman yang lain selalu menginterogasi kalau Aftan menjauh dariku.

"I... Iya..." Aftan merasa tidak nyaman karena kuadili. Matanya mengerling dengan wajah canggung.

"Kenapa kita tidak terus bersama saja? Dengan begitu kamu akan semakin yakin dengan alasan kenapa kamu marah."

Aftan merengut tidak terima, namun aku menggeleng mutlak. Cinta itu begitu egois. Oh? Cinta? Sejak kapan aku mendeklarasikan cinta? Mataku mengerjap, menatap wajah Aftan sekali lagi. Aftan masih merengut. Aku tersenyum. Wajah itu akan selalu ada dalam hatiku, menjelma jadi candu tersendiri untukku.

"Mas Adnan kesal?"

"Menurutmu?"

Aftan memalingkan wajahnya lagi. Aftan, tidak bisakah kamu membuatku benci sebentar saja? Kenapa hatimu seperti sedang membuatku gila? Kenapa aku harus terpesona karenamu? Kenapa kau susah untuk kuraih? Aftan, aku gila. Aku jatuh cinta.

"Maaf, Mas..."

"Kita impas?" Aku mengulurkan tangan. Aftan menatapku ragu, namun dalam sekejap dia menyambut uluran tanganku. Dia tersenyum paksa. Sejujurnya sampai saat ini aku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dia menghindariku?

Kalau memang Aftan sendiri tidak tahu, maka kami akan mencarinya bersama.

***

Pameran Navers didanai oleh dekan. Awalnya kukira acara itu hanya main-main saja, namun ternyata acaranya luar biasa. Ada acara hiburan sebagai pembukaan pameran Kampanye Lingkungan. Mereka mendatangkan artis lokal, jadi mahasiswa dari fakultas lain juga ikut datang. Aula penuh dengan manusia-manusia yang terpesona dengan kreasi.

"Nah... Nah...! Ini lapakmu." Gian tersenyum, menunjuk salah satu sudut tempat. Aku ingin protes karena diberi spot yang tidak menjanjikan seperti ini. Setelah pintu selamat datang ada bazaar makanan. Makanan yang dijual di sana dibuat dari kulit buah. Mereka benar-benar membudidayakan sampah. Lalu di sebelahnya ada geng UKM Jurnalistik yang bekerja sama dengan UKM Film. Mereka menayangkan film dokumenter tentang sampah yang ada di kota ini.

Banyak spot strategis yang telah terisi. Bahkan robot dari kertas dan koran bekas pun sudah tegak menjulang di tengah-tengah aula. Hanya aku yang kebagian tempat sempit dan juga di pojok ini.

"Kenapa aku dapat yang ini?"

"Takdir, lah Nan!" Gian menepuk bahuku.

"Paling tidak kamu bisa merayu Irjo untuk menempatkanku di lapak yang lebih baik! Apa gunanya kedekatan kalian?"

"Kamu suruh aku KKN?"

"Terserah apa namanya, tetapi aku merasa tidak diuntungkan. Lagipula, aku juga bekerja sama dengan adik kesayangannya. Kenapa dia tidak membela kami?" Aku masih protes. Dua buah pigura ukuran poster itu masih saja tergeletak di sudut. Kesepian. Masih terbungkus koran.

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang