Bagian Tiga: Lensa yang Menangkap, Mengikat

16.6K 1.4K 220
                                    


Sejatinya aku tak pernah menyangka bagaimana Dia menuliskan takdirku. Selama sekian tahun hidupku, aku percaya takdir. Aku percaya ada sebuah jalan yang harus kulewati. Sayangnya aku sendiri tidak tahu bagaimana kehidupan harus bekerja dengan sistem seperti itu. Aku pasrah. Meski aku bisa saja protes kalau Allah memberiku jalan seperti ini, hanya saja aku percaya. Dia sangat berkuasa atas segala sesuatu. Memberikan kejutan lucu, hingga membuatku bertanya-tanya. Apa lagi yang akan Dia berikan?

Aku tidak pernah menyesal.

***

Kami sampai di sebuah lesehan. Karena saku anak kos biasa sepertiku tidak terlalu mencukupi untuk nongkrong di cafe mahal, akhirnya aku pasrah ketika mereka mengajakku ngopi di lesehan. Aku membawa motor sendiri, sementara Irjo dan Aftan berboncengan. Kami bertiga saling menatap. Mencoba mengulik topik yang akan bersinggungan dengan kami bertiga. Aku dan Irjo punya topik sendiri, Aftan dan Irjo juga memilikinya, namun sayangnya aku dan Aftan tidak punya sama sekali.

Terus terang aku heran kenapa mau saja diajak ke sini oleh Irjo.

"Jadi, bagaimana keadaan kelincimu, Tan?" Irjo membahas hal yang mungkin akan menyatukan kami, namun itu membosankan aku tahu.

"Kemarin aku coba googling, Mas. Bagaimana cara membedakan dia jantan atau betina." Aftan mengangguk puas. Aku tertarik dengan apa yang anak itu katakan, ceritakan dan ucapkan. Hanya saja aku lebih senang ketika dia mengerling, lalu tersenyum.

"Bagaimana?"

"Kalau yang jantan itu punya... huppp...."

Sebelum Aftan menceritakan tentang anatomi kelinci, Irjo sudah membungkam mulutnya. Tidak, tidak! Ini tempat makan, dan membahas hal yang menyinggung anatomi intim seperti itu pasti akan membuat kami membayangkan yang tidak-tidak, lantas bisa saja mengacaukan selera makan kami. Aku menatap Irjo. Irjo balas menatapku, lalu tersenyum geli.

"Oh, ya... kamu belum kenal Mas-mas yang judes ini, kan?" Irjo menyenggol lengan Aftan. Aftan menoleh ke arahku. Aku menatapnya. Kami berpandangan sekian detik. Ada sebuah rasa aneh yang perlahan menjalar dalam hatiku. Sejujurnya aku tidak pernah menyangkal sebuah rasa. Kalau senang aku akan mengatakan senang, kalau benci aku akan mengatakan benci.

Kali ini tidak pernah kurasakan hatiku merasa sejujur ini.

Aftan meletakkan gelas jus jambunya, lalu mengusap tangan basahnya di baju. Aku tahu itu jorok, namun aku tak peduli. Dia malah tampak terlalu lucu di mataku. Mirip anak kecil polos yang sedang ingin bersalaman.

Bersalaman. Touch.

Itu artinya akan ada dua kulit yang saling bersentuhan. Aku sudah merinding hanya dengan membayangkannya. Aftan sudah mengulurkan tangannya, sementara aku hanya membeku. Irjo menyenggolku kali ini, memerintahkanku membalas uluran tangan Aftan. Dengan ragu kusambut uluran tangannya.

Untuk sekian tahun hidupku, aku merasa sudah benar-benar kehilangan rasa. Tangan mungil yang halus, namun sedikit berotot. Agak dingin, empuk, dan aku suka sensasinya. Suka ketika tangan ini mampu mengirimkan respon pada saraf hatiku. Hatiku sudah benar-benar menghangat, luluh begitu saja karena rasa yang mencoba mendobrak.

"Aftan, Mas." Aftan tersenyum lucu.

"Ad..nan." Bodohnya, aku terlihat gugup dengan wajah malu-malu. Aftan masih menggenggam tanganku, mengguncangnya sesekali. Mirip sekali dengan anak TK.

Astaghfirullah, aku malu!

"Kalian akan bersalaman sampai kapan?" Irjo menaikkan alisnya, tersenyum jahil ke arah kami. Aftan melepaskan tangannya, sementara aku merasa tidak rela. Biarkan saja tangan itu, memangnya apa urusanmu Jo?

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang