Bagian Tujuh Belas: Sebuah Kesalahan di Balik Cinta

10.4K 1K 144
                                    


Cinta masih menggema di antara kami. Tidak ada hati lain yang merasa. Oh, kami tahu ada beberapa orang yang sudah tahu. Gian dan Irjo. Mereka berdua tahu karena mereka juga ikut andil dalam hubungan kami. Aku tidak pernah menyangka kalau Aftan akan berdiri di sisiku, saat ini.

***

Aku tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya aku harus menatap lelaki itu sekali lagi dalam dekapku. Kamar ini menjadi saksi bagaimana tumbuhnya seorang anak lelaki yang kini menawan dengan caranya. Kamar itu begitu lucu, ada foto-foto Aftan sejak kecil hingga sekarang. Ada beberapa foto yang tampak lucu. Foto Aftan yang sedang memakai baju perempuan, berkuncir seperti pohon palem.

Ketika tanganku meraihnya, Aftan berteriak kencang.

"Kembalikan itu, Mas!" Aftan berteriak kencang. Aku tergelak geli melihat tingkahnya. Aku tidak tahu kalau Aftan akan memberikan respon seperti itu. Aftan melompat kencang, meraih tanganku.

"Aku ingin melihat Aftan kecil..." Aku terbahak kencang. Aftan melengos, lalu melompat gemas.

"Kembalikan itu, Mas! Dulu kakak-kakakku selalu menjahiliku!" Aftan masih bergerak, mendekat dengan wajah kesal. Aku tidak tahu kalau anak itu akan merengut kesal karena tingkah bodohku. Aftan selalu saja begitu.

"Mas ingin dengar bagaimana Aftan kecil."

"Tidak ada yang menarik, Mas!"

"Sungguh? Tetapi Mas ingin dengar semuanya."

Aftan merengut, lalu duduk manis di depanku. Matanya menatapku, lalu kembali menatap arah lain. Jemarinya bergerak, memilin-milin ujung bajunya. Allah, kenapa aku harus melihat lelaki manis dan luar biasa seperti ini? Kenapa Aftan begitu menggoda? Kenapa Kau kirimkan lelaki yang super menawan seperti ini padaku?

"Aftan..."

Aftan mendongak, mengerjap setelahnya. Aku tidak pernah tahu bagaimana hatiku bergerak setelah itu, karena aku kembali menarik tengkuknya. Aku tahu kalau pintu kamar Aftan sudah tertutup. Terkunci? Aku tidak tahu. Aku hanya ingin mengecup bibirnya sebentar.

Satu kecupan itu membuat Aftan mengerjap lagi ke arahku. Aku tersenyum sayang, mengusap pipi gembilnya sebentar.

"Jadi, Mas ingin tahu."

Aftan menunduk malu lalu berbisik pelan, "Mas ingin tahu apa?"

Kali ini aku sudah duduk di atas kasurnya. Aftan juga ikut bergerak, lalu duduk manis di depanku. Matanya mengerjap menatapku.

"Semuanya..."

Lalu anak itu mulai mengambil napas dan berbisik pelan. Dia bercerita dengan wajah malu-malu. Aku tahu kalau Aftan tidak akan pernah membuatku bersedih. Aftan mengerling sejenak lalu mulai bicara.

"Suatu hari di tanggal dua puluh lima Desember, lahirlah seorang anak lelaki yang sangat tampan..."

Aku tergelak kencang. Aftan menatapku, merengut karena aku tertawa mendengar ceritanya. Aftan tidak pernah menunjukkan sisi ini sebelumnya. Mungkin benar apa kata orang kalau seseorang akan menunjukkan sifat sebenarnya ketika berada di kampung halaman. Aku beruntung dapat melihat masa lalu anak ini.

"Jangan tertawa, Mas! Aku belum selesai bicara." Aftan melengos. Aku mencoba menahan diri untuk tidak terbahak kencang saat ini.

"Baik, baik... Silakan dilanjutkan, Saudara Aftan!"

Aftan mengangguk paham.

"Awalnya banyak orang mengira janin dalam rahim wanita itu adalah seorang wanita. Ketika itu tidak ada yang mencoba berinisiatif untuk mengecek jenis kelamin sang janin lewat USG. Orang desa hanya mengandalkan intuisi dan feeling, jadi mereka segera menyiapkan nama perempuan. Menyiapkan nama manis yang bisa digunakan untuk perempuan. Wanita yang sedang mengandung itu pun beranggapan anak yang dikandungnya adalah perempuan, karena beliau sudah mendapatkan dua anak lelaki."

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang