Bagian Sepuluh: Kita Melangkah, Tanpa Berbalik

11.2K 1.1K 167
                                    


Seharusnya Aftan tahu aku begitu egois karena mengidamkan cinta. Hanya sedikit pelukan tidak mampu memuaskan rasa laparku akan sayang. Aku mencintainya tanpa syarat. Aku merindukannya, setelah sekian lama aku tak bersua dengannya. Tak ada rasa sayang meletup seperti ini sebelumnya, namun sekarang aku sudah memenuhi janjiku terhadap Aftan.

***

Aku tidak leluasa memeluk Aftan tadi. Mamah dan Ayah pergi membeli makan setelah itu, meninggalkanku yang memang sedang ingin berfoto bersama teman-teman yang lain. Aku pergi ke kamar mandi setelah puas dengan olokan yang lain. Gian dan Irjo datang lalu memelukku. Bahkan Gian juga dengan seenaknya menciumku.

"Kamu kapan daftar wisuda?" tanyaku ganas, mengusap bekas ciuman Gian.

"Aku tunggu dia." Gian menunjuk Irjo. Irjo menggaruk tengkuknya gugup.

"Iya, ini juga lagi persiapan sidang." Orang yang sedang disindir sadar diri. "Mungkin aku ikut wisuda periode selanjutnya."

"Deal!" Gian tersenyum puas.

Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku merindukan Aftan. Setelah menyapa Mamah dan Ayah tadi Aftan pergi. Dia mengatakan kalau dia sedang ada urusan. Aku mengusap wajahku kasar. Wastafel ini menyebalkan. Tidak ada yang menarik di sini. Aku hanya sedang menghindari pertanyaan Gian dan Irjo yang terdengar mengejek sejak tadi.

"Sudah bertahan lima bulanan tidak bertemu, bertemu hanya beberapa menit lalu dia pergi. Kamu baik-baik saja, Nan?"

Karena malas menanggapi ocehan seperti itu, akhirnya aku pergi ke kamar mandi. Kamar mandi di dekan gedung rektorat memang sepi, jarang ada yang memakainya. Aku sering menggunakan kamar mandi ini kalau bolos dari UKM.

"Mas?" Tiba-tiba sebuah kepala melongok ke dalam kamar mandi. Suara yang sangat aku rindukan. Suara yang membuat hatiku berantakan. "Selamat buat wisudanyaaaa....!" Lalu sebelah tangannya terulur, menyerahkan pigura berisi foto-foto kebersamaan kami. Ada Gian, Irjo dan yang lain di sana. Sejak kapan anak ini mengambil foto ini? Ada satu foto yang menarik perhatianku. Ada foto kami berdua, tersenyum saling menatap. Bahkan jemari kami bertautan.

"I... Ini foto kapan...? Siapa yang mengambilnya?" Aku curiga.

"Itu dari Mas Gian, Mas..." Aftan tersenyum. Gian! Sungguh, kali ini aku ingin memelukmu dengan sayang!

Tanganku menarik lengan Aftan masuk ke dalam kamar mandi, lalu menutup pintunya. Aku meletakkan pigura itu, menyandarkannya di dekat wastafel. Lenganku merengkuh tubuh Aftan erat. Kepalaku sudah bersembunyi di antara ceruk leher Aftan, mengendus aroma yang begitu kurindukan.

"Tahu, tidak?" tanyaku, menggantung pertanyaan begitu saja.

"Hm...?"

"Aku merindukanmu..."

"Pada akhirnya Mas Adnan bisa lulus, kan?" Aftan balas memelukku. Jemarinya mengelus punggungku. Jantungku seperti meledak begitu saja. Lelaki yang kurindukan. Lelaki ini yang sangat kuinginkan. Aku memeluknya makin erat, hingga Aftan berbisik.

"Mas Adnan, aku tidak bisa bernapas..."

Aku tidak peduli. Lihat, betapa egoisnya cinta! Lenganku semakin erat memeluknya. Aftan terkikik geli setelah itu, lalu berjinjit. Dia merengkuh tengkuk leherku, lalu bergantungan.

"Aftan..." Jantungku berdegup kencang. Menjerit begitu saja dengan rasa sayang. Aku tidak pernah tahu bagaimana cinta bersandar, namun aku mencintai Aftan dan dia adalah sandaranku.

"Mas, aku akan merindukan Mas Adnan..."

Aku lupa.

Hal paling penting yang kulupakan adalah sebuah perpisahan. Hatiku terlalu merindu hingga melupakan hakikat tentang makna wisuda sebenarnya. Aku melepaskan pelukan, lalu memandang Aftan lagi.

Ketika Nama Tuhan Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang