Cia dan Shereen berjalan lesu ke dalam kelas. Pasalnya hari ini senin dan mereka terlalu malas untuk turun ke lapangan lagi untuk upacara. Sebenarnya bukan hanya mereka, siswa lain pasti juga merasakannya.Cia menaruh tasnya dan turun ke lapangan bersama teman-teman sekelasnya yang lain. Termasuk Arya. Tepat di anak tangga terakhir, ia hampir saja jatuh karena tubuhnya oleng. Sebuah tangan sigap memegang kedua lengannya.
"Hati-hati, Ci." ucap Andra dari belakangnya. Untung saja ada dia, sehingga Cia tidak jadi terjatuh. Entah kenapa rasanya badannya kurang enak pagi ini.
"Thanks, Ndra." sahut Cia. Ia sadar ini kedua kalinya Andra menangkapnya ketika ia hampir terjatuh.
"Kalau lo nggak enak badan mending ke UKS aja, gih." Andaikan Arya yang berkata seperti itu mungkin Cia akan langsung baik-baik saja. Namun, harapan tidak selalu menjadi kenyataan.
"Iya, ini gue mau kesana."
"Perlu gue anter?"
"Oh, nggak usah, Ndra. Mending lo cepet ke lapangan, deh Bu Wati udah teriak-teriak, tuh." Andra menghela nafas pasrah.
"Oke, kalau ada apa-apa bilang gue." Andra telah berlalu dari hadapannya. Namun perasaannya masih aneh.
'Andra sebaik dan seperhatian itu tapi kenapa gue nggak ngerasa baper dan deg-degan.' Batin Cia.
***
Langkah kaki Arya terhenti di tengah tangga. Pandangannya tertuju pada kedua orang yang berdiri di ujung tangga. Ia masih membeku. Teriakan siswa-siswi yang hendak turun tangga tidak diperdulikannya.
Ketika melihat Andra sudah pergi dari sana, ia kembali berjalan menuruni tangga. Perasaannya tak karuan. Ia berusaha menyangkal perasaan aneh yang hinggap di benaknya. Semoga ini bukan seperti dugaannya. Semoga. Ia masih takut untuk jatuh. Kapanpun dan dengan siapapun.
***
Bel istirahat baru saja berbunyi. Cia bersiap mengambil bekal yang telah ia siapkan sejak tadi subuh khusus untuk Arya. Ia sengaja membuatkan bekal untuk Arya sebagai ucapan terima kasih atas komik yang kemarin cowok itu berikan. Yah, walaupun hanya roti isi keju dan coklat, yang penting rasanya, bukan?
Matanya menyisir penjuru kelas yang belum terlalu sepi. Arya dan gerombolannya sedang berjalan keluar kelas, tapi belum benar-benar keluar. Cia segera bergegas mendatangi cowok itu dengan kotak bekal berwarna pink di tangannya. Habisnya, itu satu-satunya kotak bekal yang ia punya.
Cia memanggil nama Arya yang membuat cowok itu menoleh spontan. Bukan hanya Arya, beberapa temannya juga ikut menoleh. Arya menautkan alisnya bingung menatap Cia yang tak kunjung berbicara.
"Ehm, gu-gue mau ngasih ini sama lo." Cia menyodorkan kotak bekalnya kepada Arya.
"Kotak bekal? Buat gue?" tanya Arya. Cowok itu telah berhadapan dengan Cia dan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
"Bukan buat lo tapi buat Ahmad. Ya buat elo-lah, curut." Cia memutar bola matanya malas
"Nggak perlu. Simpan aja buat lo makan sendiri," jawab Arya datar.
"Tapi-"
"Oke, gue terima bekalnya. Makasih. Gue cabut." Dengan satu hentakan Arya mengambil bekal tersebut kemudian berlalu pergi bersama komplotannya.
Cia terpaku sendiri melihat sikap aneh Arya. Tadi, cowok itu bilang tidak mau namun setelah itu ia malah merampas bekal tersebut. Sungguh aneh. Arya memang tidak bisa ditebak. Tak bisa dipungkiri, sekarang Cia merasa senang karena bekalnya diterima Arya.