"Luna?"
Pandangan kosong gadis itu menghilang. Mendengar suara seorang cowok memanggil namanya, tatapannya tersirat kewaspadaan. Tidak mungkin itu suara Arya, Luna sangat hafal diluar kepala suara berat namun merdu tersebut. Tidak mungkin pula suara Papanya, Luna yakin beliau sudah take off ke Malaysia beberapa jam yang lalu. Lalu siapa cowok yang berdiri mematung disana?
Cowok tersebut mulai mendekat ke ranjangnya. Luna yang mulai panik, memundurkan tubuhnya dan berusaha menggapai apapun yang ia bisa. Gadis mungil itu sangat takut jika cowok didepannya ini akan macam-macam dengannya. Apalagi Luna tidak mengenal sedikitpun cowok ini.
"Eh, eh! Tunggu, tunggu. Gue bukan orang jahat," Cowok tersebut bereaksi berlebihan ketika Luna mengangkat tongkat miliknya. Ia panik sendiri di tempatnya berdiri. Sedangkan Luna, gadis tersebut tetap mengacungkan tongkatnya dengan raut was-was.
Cowok itu menghela napasnya. "Percaya, deh. Mana mungkin cowok seganteng gue ini orang jahat."
Luna tetap pada posisinya. Matanya menyelidiki cowok tersebut dari atas sampai bawah. Berikutnya, Luna kembali menatap tajam cowok itu. Tongkatnya ia majukan sampai mendekati cowok tersebut untuk mengancamnya agar segera angkat kaki dari ruangannya.
Cowok itu memundurkan badannya karena Luna terus memukulinya dengan tongkat, "Eh! Kalo kena burung gue gimana. Woy!" teriaknya.
"Ya Allah, tolong Erza dari tongkat sialan ini. Erza nggak mau mati di tangan cewek pesakitan gini, Ya Allah. Aduh! Sakit, woy! Ayah, Bunda, maafin kakak," Ocehan lelaki itu mulai melantur.
Luna akhirnya berhenti memukuli cowok itu dan mengusap keningnya yang berkeringat. Ternyata memukuli orang asing yang kekeh tidak mau keluar, juga membutuhkan energi yang cukup besar. Jujur, Luna lelah.
"Capek, ya?" celetuk cowok itu.
Luna meliriknya tajam kemudian mengangkat kembali tongkatnya tiba-tiba. Ia tidak habis pikir ada seorang cowok aneh yang yang nyasar ke kamar rawatnya.
"Eittss! Galak amat, elah. Ngidam apa, sih Arya sampai punya sahabat kayak lo." Cowok tersebut berdecak kesal.
Arya? Nama itu seketika berkelebat di benak Luna. Perlahan tongkat ditangannya terlepas. Tatapannya kembali berubah kosong. Cowok itu baru saja menyebutkan nama yang terdengar sangat sensitif di telinga Luna. Luka yang kemarin berangsur membaik kembali terbuka satu persatu jahitannya. Hanya karena cowok itu menyebutkan sebuah nama.
"Hey? Lo kenapa?" panggil cowok itu.
Tangan kanannya melambai-lambai didepan wajah Luna. Sementara, tangan kirinya memegang sebuah parsel buah yang baru Luna sadari.
Luna menggerakkan bibirnya, "Arya?"
Sepertinya cowok itu mengerti dan langsung menepuk keningnya dengan cukup keras, Luna pikir. Ia seperti baru saja melupakan sesuatu.
"Nah, kan! Gara-gara elo, sih, gue jadi lupa apa maksud kedatangan gue kesini. Nama lo Luna, kan?" Luna mengangguk pelan. Setelah itu, cowok tersebut memutari ranjang Luna dan meletakkan parsel ditangannya ke atas nakas di sebelah kanan ranjang Luna. Kemudian ia mengulurkan tangan. "Kenalin, gue Erza Mahadian. Sahabat Arya Angkasa yang paling kece."
Senyumnya manis. Ada lesung pipinya walaupun kulitnya berwarna sawo matang. Suaranya pun serak. Oke, Luna jadi salah fokus. Cowok itu menaikkan alisnya masih dengan senyum yang berkembang. Matanya menatap uluran tangannya kemudian manik mata Luna. Dengan sedikit ragu, Luna membalas jabatan tangan cowok itu. Respon yang diberikan cowok bernama Erza itu cukup berlebihan, ia mengayunkan jabatan tangannya dengan semangat.