Suasana kelas XI-IPA-2 terdengar rusuh dari arah tangga samping kelas. Lelaki dengan tubuh jangkung itu berlari terburu-buru menuju kelasnya. Sesampainya disana, geng tukang rusuhnya menoleh heran."Kenapa lo, Mad?" tanya Bayu sambil garuk-garuk pipi.
Tiba-tiba Ahmad tertawa keras yang membuat beberapa penghuni kelas menoleh heran ke arahnya. Ada yang sebagian bertanya ada apa, ada juga yang mengejeknya gila karena tertawa tiba-tiba.
Erza yang barusan mengocok kartu, bangkit dari duduknya menghampiri Ahmad di depan pintu. Tangannya memegang kening Ahmad dan bokongnya bergantian. "Wah! Pantesan, panasnya sama kayak pantat gue."
"Bego, kampret lu, item!" Ahmad mengumpat sambil menjitak Erza.
"Jadi ada apaan, sih? Gue rasa lo kemasukan kuntilanak sampai tiba-tiba ketawa kayak gitu." Arka--ketua geng rusuh kelas--mulai angkat bicara.
"Oh iya, si kunyuk Arya mana?" celutuk Bayu.
Ahmad menjentikkan jarinya dan menatap gengnya dengan tatapan jahil. "Nah itu! Arya tadi dibawa ke ruang BK sama Cia gara-gara bantuin Cia yang ketahuan terlambat."
Beberapa siswi di kelas menoleh kaget ke arah Ahmad yang baru saja memberi informasi. Kelompok geng rusuh bagian perempuan yang sebagian besar teman-teman Cia sudah tertawa keras membayangkan wajah nelangsa Cia. Mereka sudah menduga gadis itu akan datang terlambat.
"Anjay, si Cia. Sambil menyelam minum air." celutuk Shereen yang duduk bersama Liza, Dea, dan Arifah.
"Bener, tuh! Sekalian modus dia sama si Arya. Menang banyak dia hari ini, beh!" tambah Dea bersemangat.
"Cia bisa aja modusnya. Masa dari Chanyeol pindah ke Arya. Eh, tapi nggak pa-pa, sih Arya kan ganteng." ujar Liza dengan mata berbinar.
"Udah, deh. Kasian Cia diomongin mulu, nanti dia keselek gimana. Mending kita samperin dia pas istirahat." Arifah menengahi yang membuat Shereen, Liza, dan Dea bergumam mengiyakan.
Arifah adalah anggota mereka yang paling kalem dan alim. Biasanya dia yang bakal memperingati geng rusuh di kelas kalau telah kelewat batas. Maklum, Ayahnya seorang ulama yang cukup terkenal dan kebijakan Ayahnya itu turun ke anak pertamanya itu, Arifah.
"Gue lupa ngerjain pe-er Biologi! Mampus gue. Minjem catatan lo, ya Reen." Namun, dibalik itu. Arifah memiliki sifat pelupa dan ceroboh yang telah melekat sejak kecil.
***
Gadis dengan rambut dikuncir dua tersebut terus menunduk. Tangannya meremas bagian bawah rok seragam yang ia kenakan. Keringat dingin turun dari pelipisnya.
Ia tidak pernah segugup ini jika mendapat hukuman sebelumnya. Dalam hatinya, ia hanya takut jika orang tuanya dipanggil. Ia tidak ingin merepotkan Mama. Ia juga tidak ingin membuat Mama marah-marah. Pasalnya ini sudah keempat kalinya Cia terlambat dalam satu bulan.
"Atresia Alamanda. Benar?"
Cia mengangguk pelan tanpa mendongakkan kepalanya. Arya yang berada di sebelah Cia tampak santai dengan pandangan mengelilingi ruangan bercat putih tulang itu.
"Arya Angkasa. Benar?"
"Benar." jawab Arya.
Cia menoleh sinis ke arahnya yang ditanggapi wajah polos tak berdosa milik Arya. Yang menurut Cia, sangat-sangat terlihat menyebalkan sekarang.
Bu Leny--guru bina konseling--melepas kacamata yang melekat di mata tajamnya. Pandangannya tak lepas dari Cia yang masih menunduk.
"Nggak capek, nak nunduk terus?" tanya Bu Leny. Seketika Cia langsung mengangkat kepalanya dan bertatapan langsung dengan Bu Leny.