26.|| Dilema

146 11 2
                                    

Guncangan yang menimpa tubuh Cia membuatnya menggeser ke sisi ranjang yang lain. Namun, guncangan itu semakin hebat dan membuat kasur yang ditiduri Cia menjadi naik-turun tak karuan. Karena merasa sangat sangat terganganggu, ia terduduk dan menatap Alfaro dengan tatapan 'Lo-mau-mati?!'

"Ci, ada kabar baik! Sumpah, gue seneng banget! Terima kasih, ya Tuhan...." pekik Alfaro seraya sujud syukur di lantai kamar Cia.

Sedangkan, adik dari Alfaro menatapnya heran. "Kabar apa, sih Faro?"

Alfaro menepuk keningnya keras sampai membuat Cia meringis mendengar suaranya. "PAPA UDAH BANGUN DARI KOMA."

"Apa?! Lo serius? Beneran? Gue lagi nggak mimpi, kan?!" Kaget Cia ketika mendengar seruan bahagia Alfaro. Gadis itu mencubit pipi Alfaro keras-keras.

"A-aduh, duh sakit woy! Pipi gue melar, Wanjir!" pekik Alfaro lebay.

"Ternyata bukan mimpi...."

Cia menurunkan tangannya dengan senyum lebar terkembang di wajahnya. Raut wajahnya masih tidak percaya. Sejurus kemudian, ia bangkit dan melakukan hal yang sama seperti yang Alfaro lakukan tadi. Sujud syukur.

"Makasih, Tuhan...."

"Kita ke rumah sakit sekarang?"

"Oke." seru Cia semangat seraya berlalu menuju kamar mandi.

***

Perasaan Cia begitu gugup ketika Alfaro telah menekan kenop pintu kamar rawat Papa-nya. Ia sudah tidak sabar bertemu dengan sosok berwibawa tapi humoris dan ramah layaknya Papa-nya. Pandangan Cia menangkap sosok yang sering disapa 'Adrian' itu menerima suapan dari Mamanya, Yona Alamanda. Mata yang beberapa minggu lalu tertutup rapat, sekarang kembali terbuka dengan binar tegasnya.

Telah lama Cia tidak melihat pemandangan seperti ini. Terakhir kali melihat orangtuanya, mereka tengah bertengkar mengenai prestasi Cia yang sangat menurun. Papa yang memaki Mama tidak becus mengajarkan anak dan Mama yang memarahi Papa yang selalu sibuk bekerja. Selama Cia berada di apartemen dengan sahabatnya, ia tidak pernah berpikiran untuk merusak dirinya seperti korban dari orangtua yang broken home. Justru, Cia dan sahabat-sahabatnya telah membuat perjanjian. Mereka tidak akan merusak masa depan mereka sendiri walau sehancur apapun keluarga mereka.

"Atresia, Alfaro...." lirih Adrian lemah. Lelaki itu tersenyum menatap anak-anaknya.

Pandangan Cia mengabur. Air mata memenuhi pelupuk matanya. Sekarang, ia sudah berada tepat di samping Papanya. Begitupun Alfaro yang berdiri di sisi ranjang satunya. Sedangkan Mama mengusap puncak kepala Cia.

"Pa, maafin Cia. Cia tau kalo Cia salah udah pergi ninggalin Papa-Mama. Cia emang anak yang nakal, bandel, nggak nurut orangtua. Tapi, Cia nggak mau kehilangan orang tua Cia ketika belum bikin mereka bahagia." ucap Cia diiringi isakan kecil.

"Alfaro juga, Pa. Selama ini Alfaro selalu berada jauh dari kalian. Alfaro pengen tinggal disini, tapi kakek nggak mengijinkan. Maafin kakek, ya Pa. Kakek nggak benci sama Papa. Beliau cuma belum menerima Papa seutuhnya. Alfaro pengen kita main mobil-mobil kayak dulu." Alfaro bercanda di akhir kalimatnya. Adrian, Yona, dan Cia tertawa melihat wajah memelas Alfaro.

"Papa belum bisa banyak bicara, sayang. Tapi Papa selalu maafin kalian, kok. Iya, kan Pa?" Adrian mengangguk menanggapi ucapan Yona, istrinya.

"Kamu malu-maluin, deh Far udah gede masa masih pengin main mobil-mobilan? Nggak inget umur. Malu sama pacar, ih." Lanjutnya.

"Biarin. Alfaro juga nggak punya pacar, kok."

"Terus Mina itu siapa?" celutuk Cia. Alfaro tersipu malu dengan rona merah di pipinya.

AtresiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang