Bau obat-obatan tercium oleh indra pembau lelaki itu. Langkahnya terhenti di depan kamar rawat bernomor 267. Dibukanya handel pintu tersebut. Munculah sosok kedua orang yang ia sayangi."Assalamuikum."
"Walaikumsalam, Arya. Masuk, nak."
Lelaki dengan kaus abu-abu itu mencium punggung tangan wanita paruh baya di depannya. Wanita itu tersenyum seraya mengelus pundak Arya. Arya merasakan kehangatan menyergap benaknya.
"Seandainya Alya masih hidup. Pasti dia sangat bangga punya putra sepertimu, Ar."
Arya hanya menanggapi dengan senyum manisnya yang jarang ia perlihatkan. Senyum yang menimbulkan bolongan di bagian kiri pipinya. Lesung pipi yang dalam dan membuat kadar kemanisannya meningkat.
"Kenapa jadi tante yang mewek. Sini, kamu temenin Luna dulu. Dia pasti kangen kamu. Udah lama kamu nggak
kesini." ujar wanita paruh baya itu kemudian menyingkir memberikan jalan untuk Arya."Tante keluar sebentar, ya."
Setelah menepuk pundak Arya beberapa kali, wanita itu keluar menyisakan Arya yang terduduk dengan seorang gadis yang tertidur pulas di hadapannya.
Gadis dengan perban melingkar di sekeliling dahinya. Gadis dengan lesung pipi yang sama dengan dirinya. Gadis dengan segala kelucuannya dan kecerewetannya. Gadis dengan nama Luna Eldira.
Satu-satunya sahabat perempuan yang Arya miliki. Satu-satunya mantan pacar Arya. Satu-satunya gadis yang ada di hatinya sekarang.
Alasan selain Bundanya. Alasan yang mengubah sikap Arya jadi dingin dan malas berurusan dengan gadis manapun. Terkecuali Cia. Ia merasa susah untuk bersikap dingin dengan gadis lugu tapi konyol itu. Entah apa alasannya. Arya tidak mengerti. Dan, mungkin Vana? Kalau Vana, ia sudah terbiasa dengan sifat manja gadis itu karena Mama indah telah bersahabat dengan Ibunya Vana.
Tiba-tiba mata Luna mengerjap dan pandangannya tertuju kepada Arya. Senyum lebar terukir di bibirnya. Ia mengusap lehernya menunjukkan ia sedang haus. Dengan sigap, Arya segera mengambil gelas berisi air putih di nakas sampingnya dan memberikannya pada Luna.
Arya membantu gadis itu minum dan kembali membaringkannya. Gadis itu kembali tersenyum dan melambaikan tangannya. Hanya gerakan tanpa suara.
Arya membalas dengan senyuman dan ikut melambaikan tangan. "Halo, El."
Gadis itu mengucapkan kata 'Halo juga.' namun tanpa suara yang keluar dari mulutnya. Arya rasanya ingin meledak melihat kondisi sahabatnya yang menyedihkan ini. Ia ingin mengadu pada tuhan dan meminta agar suara ceria dan cerewet dari gadis ini kembali. Agar keceriaan gadis itu juga kembali. Bukan hanya senyuman tak berarti.
"El udah makan?"
Luna mengangguk dan menulis susuatu di note yang ada di kantung baju piyamanya.
'Udah tadi siang sama mama.'
Tulisan Luna masih rapi. Walaupun ia sudah lama tidak sekolah di sekolah umum. Hanya homeschooling dan itu juga dilakukan di rumah sakit. Bunda Luna tidak mengijinkan anaknya untuk sekolah seperti biasa. Ia takut Luna akan jatuh mentalnya ketika diolok karena fisiknya yang lumpuh dan tak bisa berbicara alias bisu. Ia tidak ingin melihat anaknya semakin hancur.
Kejadian setahun lalu memang sangat mengguncang titik terdalam orang-orang yang menyayangi Luna. Kecelakaan yang terjadi saat itu terjadi ketika Luna hendak pulang dari kawasan puncak menuju rumahnya. Mobil yang dikendarainya menabrak pohon besar dan Luna yang duduk di kursi penumpang depan terkena pecahan kaca.
Ketika Luna sadar, ia tidak bisa berbicara dan kaki kanannya lumpuh. Batin Luna sangat terguncang sehingga air mata terus menggenang di pelupuk matanya. Hingga tiba di puncaknya ia telah lelah mengeluarkan air mata. Pasrah dengan keadaan.