Sabtu pagi ini, cuaca tampak tidak bersahabat. Sejak subuh tadi hujan terus mengguyur Jakarta. Memang, musim hujan telah datang. Dan ini adalah bulan-bulannya Cia malas untuk pergi ke sekolah. Karena 5 hari belakangan, ia telah melewati ulangan akhir sekolah untuk naik ke kelas 12. Jadi sekarang, ia sudah tidak ada kepentingan lagi di sekolah."Nggak sekolah?" Suara berat mengisi keheningan kamar Cia. Cowok dengan kaus polo abu-abu itu menaruh sebuah kantung plastik di nakas sebelah ranjang milik Cia.
Alfaro duduk di sisi ranjang sambil menepuk-nepuk pipi Cia. Cia menggeliat malas kemudian membuka matanya. "Apaan, sih Faro?"
"Nggak sekolah, Ci?" tanya Alfaro, lagi.
Cia menggeleng sambil mengucek mata kirinya. "Nggak. Keluar, gih. Gue masih ngantuk."
"Jadi gue dihusir, nih?" Alfaro menaikkan alisnya dengan telunjuk mengarah ke dadanya.
Senyum Cia terukir di bibirnya diselingi anggukan cepat. "Dengan sangat terhormat, Tuan Adriano mohon anda keluar. Saya masih ingin bermimpi dengan Chanyeol, adik ipar anda. Sekian. Terima kasih." tutup Cia dan langsung menutupi kepalanya dengan selimut.
"Oke, bermimpilah sepanjang yang lo bisa sebelum lo terbangun untuk menghadapi kenyataan." kata Alfaro sambil melangkah mundur.
Sebelum menutup pintu kamar, ia berbalik, "Oh iya! Ada bubur ayam gue taroh di meja. Gue tau lo males keluar kamar kalau hujan begini."
Cia menyibakkan selimutnya dan segera mengambil bubur ayam dalam kantung plastik putih. Mulutnya menggerutu pelan, "Ngomong kek dari tadi, nggak denger apa kalau cacing peliharaan gue udah demo."
Seraya menyantap buburnya, Cia melihat ponselnya yang tiba-tiba bergetar menandakan sebuah telpon masuk. Segera ia angkat dan terdengar sahutan sebuah suara yang sangat ia kenal.
"Hm, halo? Ada apa, Reen?"
Cia menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulutnya sambil menunggu jawaban Shereen.
"Nggak pa-pa. Gue sepi aja nggak ada elo."
"Ciyeee, kangen gue, ye." canda Cia.
Shereen berdecak di seberang sana. "Paan, sih garing banget lu."
Cia terkekeh geli mendengar gerutuan sahabatnya sejak masih kecil ini. Shereen selalu ada disampingnya, baik dulu maupun sekarang. Bahkan Tuhan seakan tidak ingin memisahkan mereka. Seperti sekarang ini, sudah hampir 9 tahun mereka selalu satu sekolah dan satu kelas. Mungkin bagi beberapa orang akan membosankan, tapi bagi Cia ini menyenangkan. Sebab Shereen yang selalu membuat suasana hatinya jadi ramai. Tidak sepi atau kosong.
"Gimana lo sama Arya?"
"Gimana apanya?"
"Lo masih deket sama dia?" Shereen terdengar penasaran.
"Ya gitulah." jawab Cia sambil mengangkat bahu. Dahinya berkerut heran. "Emang kenapa?"
Helaan napas berat Shereen terdengar dari sambungan telpon. "Ci ..., kalau gue minta lo jauhin dia, elo bisa?"
Cia terdiam sejenak, memikirkan ucapan Shereen benar-benar. "Jauhin dia, ya? Gue nggak yakin."
"But you have to do that,"
"Why?"
Bubur ayam yang tadinya sangat lahap dimakan Cia mendadak tidak terlihat menarik lagi. Ia menaruh bubur itu kembali ke nakas. Gadis itu membawa segelas air putih menuju balkon dan duduk bersila disana, menatap taman yang berada di depan rumahnya.