Bayu yang sejak tadi diam, tiba-tiba angkat bicara dan menambahkan anggapan Erza. "Gue nangkep. Maksud lo, selama ini kita nggak sekenal itu sama Arya. Kita ... nggak tahu apapun tentang dia."
Tanda tanya yang sejak awal menggantung di benak Ahmad pudar. Cowok tinggi jangkung itu menangkap semua perbincangan teman-temannya. Sementara itu, Arya masih berkutat dengan pikiran dilema. Di satu sisi ia sangat ingin mencurahkan segalanya pada mereka. Namun, di sisi yang lain ia tak yakin.
"Jadi lo mau jujur, kan sama kita?" Arka yang duduk di depan Arya menatapnya sambil bersidekap.
Menurut Arya, itu bukanlah sebuah pertanyaan. Tapi, yang diutarakan Arka adalah sebuah paksaan tidak langsung agar Arya menceritakan semua. Perlahan namun pasti, Arya menarik napasnya dalam dan mengeluarkannya. Dalam satu tarikan napas di awal, ia menceritakan semuanya.
"Gue minta maaf. Gue terlalu tertutup sama orang. Bukannya gue nggak percaya sama kalian. Cuma, prinsip gue, gue bakal cerita pas timingnya udah tepat. Tapi gue pikir lagi, sampai kapan? Gue nggak akan bisa sembunyi dari kalian terus."
"Jadi, keluarga gue emang harmonis sekarang. Gue punya Ayah yang hebat, Mama yang pengertian, dan Adik yang manis. Tapi sesungguhnya gue bakal lebih bahagia lagi kalau Ibu kandung gue masih disini, nemenin gue. Bunda meninggal waktu gue umur 4 tahun, waktu beliau melahirkan Adel. Setelah gue umur 12, Ayah memutuskan menikah lagi. Awalnya gue sama Adel emang sulit beradaptasi, tapi lama-lama kita suka dengan kehadiran Mama Indah. Yah, sekian dan terima kasih." tutup Arya dengan senyum tipis.
Erza, Ahmad, Bayu, dan Arka tersenyum maklum dan setia mendengarkan setiap kata yang Arya lontarkan tanpa kegentaran sedikitpun. Luka itu telah sembuh dan Arya sudah lama pulih.
"Sorry, nih Ar. Bukannya gue penguntit atau manusia kepoan. Lo belum jawab pertanyaan pertama gue. Kemana aja lo hari sabtu kemarin?" Erza masih bertanya dengan penasarannya yang tingkat tinggi, menjulang melebihi menara eiffel.
"Oh itu ... Lah, ntar kalo gue ceritain malah kebablasan curhat," ujar Arya setengah bercanda.
"Nggak pa-pa, Ar. Gue aja sering curhat sama Erza dan kawan-kawan. Nggak usah malu-malu. Cerita aja. Kita-kita, nih siap mendengarkan."
Ahmad menjawab dengan gaya sok asik miliknya. Hal itu membuat keempat temannya tertawa dan bergantian memukul kepala Ahmad. Sekarang, entah kapan dan bagaimana ... Arya merasa hangat berada diantara mereka. Mereka menemani Arya dengan gelak tawa dan candaan yang membuat Arya bisa releks sejenak.
"Elo, mah yang dicurhatin nggak penting. Tiap hari ceritain Arifah mulu. Harusnya lo sadar, Mad dia itu alimnya nggak nahan. Mana mau dia pacar-pacaran. Apalagi sama lo," ujar Erza berapi-api.
Arka terkekeh mengingat kegiatan Ahmad jika cowok itu sedang jatuh cinta, "Lo pada tau nggak dia ngapain kalau main ponsel?" pancing Arka sambil menaik turunkan alisnya menggoda Ahmad yang sudah pucat pasi. "Dia koleksi foto-foto Arifah. Waktu lo pada nggak nyadar, dia cekrek-cekrek Arifah dari jauh. Nggak kehitung, dah berapa banyak."
"Buset lo! Kalau jatuh cinta kayak yang mau neror orang pake dijepret-jepret segala...." Arya menambahkan.
Erza berdecak kagum seraya mengangguk-anggukan kepalanya seirama. Pasalnya, ia teman sebangku Ahmad dan tidak menyadari kelakuan temannya. "Pantesan, ini curut kalo gue noleh-noleh langsung gelagapan kayak ketangkap nyuri kutang."
Wajah Ahmad sudah merah merona sampai ketelinganya akibat digoda oleh kunyuk-kunyuk yang duduk disekitarnya. Ia mendesis kesal kemudian menyahuti, "Ember, ya Arka. Mulutnya kayak tangki minyak tumpah, nyebar kemana-mana. Si Anjing,"