Arya dan Cia tengah duduk bersantai di sebuah bukit kecil tak jauh dari lokasi Kebun Binatang yang tadi mereka kunjungi. Dua bungkus es krim tergeletak di samping keduanya. Sementara isinya tengah mereka makan dengan perlahan. Entahlah, mereka merasa tidak ingin waktu cepat berlalu."Kalo liat es krim jadi inget Kezia," celutuk Cia. Matanya masih setia menatap angkasa yang tampak cerah berawan, membuat kesan sejuk.
"Hm?"
"Iya, dia suka es krim, banget. Semua jenis es dia suka. Es batu aja kadang suka dimakanin sama dia." cerita Cia. Arya mendengarkan sambil tiduran di rumput dengan lengan sebagai bantal. "Gue nggak fanatik, sih sama es krim. Cuma ... diantara es yang lain gue lebih suka aja."
"Kenapa?" Arya baru bersuara.
Cia menoleh kepada Arya yang juga menatapnya bertanya. "Karena biarpun dia itu dingin dan kadang bikin gigi ngilu, tapi dia punya banyak rasa yang bikin hari lo lebih berwarna,"
Seulas senyum terbit di bibir Arya. Menampilkan sebuah lesung pipi di pipi kirinya.
Manis, ya Ci.
Atresia mengalihkan pandangannya pada pohon jati yang tak jauh dari mereka. "Sama kayak ... lo." gumam Cia hampir tak terdengar.
Tanpa Cia sadari, Arya mendengarnya. Cowok itu mengalihkan pandangannya. Malu. Rasa hangat menjalar dari hatinya menuju ke pipi dan bermuara sampai ke telinganya. Lain halnya dengan Cia, gadis itu menunduk sambil memikirkan ucapannya.
'Sialan! Gue nggak harus baper gara-gara dia.' batin Arya.
***
Mobil milik Arya telah terparkir rapi di pelataran parkir apartemen Cia. Gadis itu segera melepas sabuk pengamannya kemudian memakai kembali tas punggung kecilnya.
Sebelum keluar dari mobil Arya, Cia menoleh ke arah lelaki itu yang sedang memainkan ponselnya. Cia melipat bibirnya dan terus menatap Arya. Namun Arya tak kunjung mengacuhkan Cia.
Cia ingin mengatakan terima kasih untuk Arya. Tapi ia malu jika memanggil Arya duluan. Ia takut tak diacuhkan lelaki dingin itu. Ia takut menghancurkan suasana baik yang baru saja terbangun diantara mereka. Dan, masih banyak rasa takut lainnya yang tak mampu Cia deskripsikan.
Akhirnya, Cia berdehem dan berhasil menarik perhatian Arya. Lelaki itu menoleh dengan alis terangkat. Cia jadi gugup sendiri ketika matanya tak sengaja bersitatap dengan mata tajam milik Arya.
"Gue ... gue balik dulu, ya."
Arya mengangguk dengan wajah datar. Tanpa satu katapun yang keluar dari bibirnya. Hati Cia mencelos. Padahal baru saja ia bisa melihat Arya yang mulai sedikit terbuka dengannya. Tapi sekarang, lelaki itu sudah kembali menjadi kaku dan dingin.
"Makasih buat hari ini." ucap Cia pelan.
Arya kembali mengangguk dan memberikan senyum tipis untuk Cia. Senyum tipis yang bahkan Cia ragu itu adalah sebuah senyuman.
"Sama-sama." jawab Arya sebelum Cia beranjak membuka pintu mobilnya.
Gadis dengan rambut dikuncir satu itu tersenyum ke arah Arya sebelum melangkah menuju pintu masuk apartemen. Ketika langkah ketiga, Cia merasa ada yang memanggilnya.
Cia menoleh ke belakang dan menemukan Arya yang melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Cia mengerutkan keningnya. Heran mengapa Arya kembali memanggilnya.
Cia menunduk sedikit untuk menyamakan pandangannya dengan Arya. "APA?" teriaknya.
Di seberang sana, Arya menunjuk-nunjuk ponselnya. Cia masih tak mengerti sampai ada sebuah notifikasi masuk ke pop up layar ponselnya.