Rintik hujan semakin turun dengan derasnya. Begitu juga dengan pisau yang menggores hati Cia sedemikian rupa. Semakin pelan gerakan pisau itu, semakin perih pula yang ia rasakan. Rasanya begitu sakit ketika melihat ada seseorang yang menangkan Arya. Begitu sakit pula ketika Arya mempercayai gadis itu sepenuhnya dan mencurahkan segala kesedihannya di pundak tersebut. Pundak yang sangat nyaman disinggahi Arya, dan tentunya bukan miliknya.
Cia meremas ujung kemeja hitamnya dengan erat sampai bentuknya tidak karuan. Cewek itu berbalik dan beranjak dengan cepat meninggalkan area pemakaman tersebut dengan air mata yang sesungguhnya sangat tidak ingin ia turunkan selayaknya hujan yang turun begitu deras kali ini.
***
Ahmad mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk menatap gundukan tanah di depannya. Matanya tak sengaja menangkap siluet seorang gadis yang postur tubuhnya sangat ia kenal sedang berbalik badan. Kemudian berjalan dengan langkah yang berat. Siapapun yang melihat sudah pasti tahu jika kondisi gadis itu tidak baik-baik sa-
"Loh, Cia?" Arka bergumam.
Baru saja Ahmad akan berkata seperti itu. Arka telah mengambilnya selangkah lebih cepat.
"Cia nggak jadi kesini? Trus dia mau kemana?" kata Ahmad.
Berkat Arka dan Ahmad, semua yang berada disana menyadari kehadiran Cia yang tidak benar-benar hadir bersama mereka. Gadis itu memutuskan untuk mengundurkan diri tanpa alasan yang mereka mengerti.
Mereka menatap suatu objek yang sama denga pemikiran yang bervariasi. Salah satunya Arya, cowok itu masih tidak menduga kehadiran Cia yang tiba-tiba dan alasan yang membuat cewek itu memilih pergi. Serta bagaimana ia bisa tahu keberadaannya disini? Dan masih banyak pertanyaan lain yang bercokol di otaknya.
"Cia?" gumam Arya seraya hendak bangkit berdiri. Namun, usahanya ditahan oleh pergelangan tangan Vana menahannya untuk mengejar Cia.
Erza yang beranjak paham tentang apa yang terjadi, berinisiatif menggantikan Arya. "Biar gue yang nyusul dia," Kemudian, Erza langsung berjalan cepat mengejar Cia yang sudah jauh di depannya.
Dari jarak yang jauhpun, Erza tahu jika Cia menangis. Walaupun cewek itu tidak mengeluarkan suara, tetapi bahunya bergetar. Itu sudah cukup mengisyaratkan perasaan Cia sekarang.
"CIA?!"
Gadis yang dipanggil Cia itu menghentikan langkahnya tanpa menoleh ke belakang. Tangannya terangkat menghapus air mata.
Cia berbalik. "Gue harus balik sekarang. Disuruh nyokap," ujarnya dengan sedikit berteriak agar Erza mendengarnya.
Erza menghampiri Cia dan menatapnya serius, "Gue tau. Gue tau lo ngeliat kejadian tadi. Gue ngerti gimana perasaan lo, Ci. Gue minta maaf."
"Ngapain lo minta maaf? Lo, kan nggak salah, Za. Lagian, gue ... juga nggak peduli dia mau ngapain. Emang gue siapa? Ck,"
'Lo orang spesialnya Arya yang tertunda. Dia belum sadar aja sekarang, Ci. Tapi nanti, waktu lo udah nggak lagi liat ke belakang.'
"Gue anter lo pulang. Atas nama Arya, gue nggak nerima penolakan!"
Cia tertawa dan mengikuti langkah Erza. "Gue harus bilang apa selain iya dan makasih?"
***
Sinar matahari perlahan-lahan mengintip lewat celah jendela beraksen ukiran tumbuhan itu. Walaupun masih terlihat malu-malu, seseorang yang masih bergelung di dalam selimut itu tak ayal terganggu.
Matanya mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk sebelum akhirnya terbuka sempurna. Gadis itu bangkit dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Matanya menyisir sekitar. Ini kamarnya. Kamar yang sebentar lagi akan ia tinggalkan. Kamar yang memiliki banyak kenangan sejak ia masih dalam gendongan Ibunya.