32.|| Arya yang tercampakkan

155 8 2
                                    

Siulan ringan cowok berkulit putih pucat itu membuat beberapa gadis menoleh sambil terkekeh geli. Sesekali ada juga yang bergidik jijik. Namun, ia tidak sama sekali malu atau kesal. Justru, ia terus tersenyum kepada beberapa wanita dan menyapa yang ia kenal.

Cowok dengan wajah oriental yang khas itu mengalihkan pandangannya dan menemukan siluet sahabatnya. Arya. Baru saja hendak menyapa dan mengajak Arya duduk dibawah pohon yang rindang seraya bersantai menikmati wifi sekolah, Arya justru tak mengacuhkannya sedikitpun. Cowok dengan rambut berantakan itu terus berjalan melewatinya tanpa menoleh sedikitpun. Matanya lurus tertuju pada.... Cia?

Dia menajamkan penglihatannya. Benar. Gadis yang menjadi titik fokus Arya sehingga mengabaikannya adalah Atresia, gadis dengan postur tubuh tinggi itu berjalan santai di koridor sekolah yang sepi. Ia berdiri. Berusaha mengamati peristiwa yang akan terjadi dari jarak yang lebih dekat. Jujur, ia penasaran. Arya hanya akan terlihat seperti itu jika cowok itu marah. Tangan terkepal dan rahang yang mengeras.

Dari tempat persembunyiannya, ia melihat Arya yang tiba-tiba menarik lengan Cia sehingga gadis itu tertarik ke belakang dan menabrak dada Arya yang memang bisa dibilang bidang. Yah, berbeda sekali dengan dirinya yang sudah kurus, pendek pula.

Mata Cia yang sedikit sipit, membulat dengan ekspresi terkejut. Pandangannya lurus menatap manik mata Arya yang lebih tinggi beberapa centimeter darinya. Begitupun dengan Arya, cowok itu juga masih betah menatap Cia lekat-lekat. Genggamannya juga masih mengerat di lengan kanan Cia.

Setelah cukup mengendalikan dirinya, Cia menatap tajam Arya dan berkata, "Apa?!" Nadanya terdengar sedingin balok es.

"Lo ngapain sama Andra tadi pagi?"

Cia menyernyit heran. "Gue?" Sedetik kemudian, ia mengingat apa yang tadi pagi ia lakukan. "Oh, emang apa urusan lo?"

Arya tidak mengalihkan pandangannya sekejabpun. Bagitu juga dengan Cia. "Itu urusan gue. Karena gue menang taruhan dan berhak atas lo. Jadi, gue harus tau apa urusan lo sama Andra tadi pagi," jawab Arya naif.

Cia tertawa mengejek. "Taruhan? Menurut lo, gue mau jadi barang taruhan lo? Asal lo tau, Ar. Gue bukan barang yang bisa dioper kesana kemari," bentaknya berang.

Semakin lama, genggaman di lengan Cia semakin mengerat. Hal itu membuat Cia meringis kesakitan. Tetapi, tak ayal matanya terus menatap Arya dengan berani. "Mau lo barang taruhan atau bukan, gue nggak peduli. Yang gue mau cuma jawaban lo. Apa. Yang. Lo. Lakuin. Sama. Andra. Tadi. Pagi?" Arya bertanya lagi dengan menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

"Bukan. Urusan. Lo," jawab Cia dengan menekan kalimatnya meniru gaya bicara Arya.

Arya menggeram tertahan. Matanya semakin menyipit tajam berikut genggamannya pada Cia yang semakin erat. "Answer me or ...,"

"Atau apa?!"

"Atau gue bakal mempermalukan lo di depan umum sekarang juga." Desis Arya yang membuat bulu kuduk Cia berdiri.

Cia terpaku sesaat. "Dengan cara?" Rupanya Cia belum kunjung menyerah. Ia tetap menatap tajam Arya. Namun, volume suaranya merendah, rasa sakit di pergelangan tangannya sedikit mengalihkan perhatiannya.

Arya menepis jarak diantara mereka sehingga hanya tersisa satu sentimeter jarak wajah mereka. Napas Arya menerpa wajah Cia sampai-sampai gadis itu menyipit. Ritme jantung keduanya berdetak sangat cepat.

Satu detik.

Tiga detik.

Lima detik.

Tujuh detik.

Karena tidak sanggup dengan jarak yang terlalu dekat, Cia memundurkan wajahnya. Cia sudah menyerah kali ini. Ia tidak tahu harus menaruh dimana lagi wajahnya jika Arya benar-benar mempermalukannya sekarang.

AtresiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang