Cia menyisir kembali pandangannya ke sekitar kantin. Matanya tidak bisa untuk diam sejenak sejak tadi. Tepatnya ketika ia tak sengaja menatap gerombolan tukang rusuh kelasnya yang biasa beroperasi di depan mushola. Bukan kegiatan mereka yang membuat Cia terus menoleh. Namun, suatu keganjilan disana. Kurangnya satu orang dari komplotan tersebut. Biasanya cowok itu akan berdiri dengan kedua tangan di kantung celana, mengamati kejahilan teman-temannya.
Dara yang rupanya menyadari ketidakfokusan Cia menyelutuk, "Kayaknya dia nggak masuk sekolah hari ini,"
Cia menoleh. "Siapa? Dava?" tanyanya.
"Bukan. Maksud gue si Arya."
"Oh, iya kali." sahut Cia pura-pura tak acuh.
Dara menatap Cia lekat-lekat sehingga gadis itu tersipu malu dan tertawa. "Lo apaan, sih ngeliatin gue segitunya. Pindah aliran elo, ya?" ujarnya.
"Nggaklah, ya keles gue suka sama lo. Gue cuma baca mata lo aja," Dara ikut tertawa renyah.
"Emangnya di mata gue ada tulisan gitu?" ucap Cia seraya meraba-raba mata kanannya.
"Anjrit, lo bego apa gimana, sih? Gue, tuh cuma pengen tau aja isi hati lo lewat binar mata. Emm, kalo gue liat, lo tadi pasti nyari Arya. Iya, kan? Yes or yes?"
Cia memutar kedua bola matanya malas kemudian menjawab, "Biar gue bilang nggak, lo juga pasti nggak bakal percaya."
Kekehan kecil dari bibir Dara mengalun di telinga Cia, membuat gadis itu ikut terkekeh. "Buat pembelajaran aja, ya Ci. Elo, kan udah mau go out ke Japan, ada baiknya lo selesain masalah lo sama dia. Karena, gini, lho gue takut aja lo ntar malah kepikiran terus sama dia, ujung-ujungnya lo malah nggak fokus sama sekolah lo disana. Gue yakin, ini cuma kesalahpahaman di dianya. Mungkin waktu itu dia terlalu ..., apa, ya bahasanya? Oh, dikuasain amarah dan kebetulannya, jleb! Lo ada disitu."
"Tapi, hari ini dia nggak masuk, deh. Trus gimana?" tanya Cia. Jarinya memelintir ujung sedotan dengan gemas.
Sejenak, Dara diam dan berpikir. Saat matanya tak sengaja melihat gerombolan tukang rusuh kelas XI-IPA-2, ia mendapat sebuah ide. "Oh, gini aja, Ci. Lo tanya sama salah satu dari mereka," Dara menunjuk komplotan yang sedang menjegal adik kelas tersebut. "Pasti mereka tau, alasan Arya nggak masuk kenapa."
Cia menatap mereka dengan sedikit ragu. "Menurut lo, gue harus gitu?"
"Of course. You have to do it,"
***
"Lama amat, sih Dara, gempor kaki gue nungguin begini," dumel Kezia. Sejak tadi, bibirnya sudah manyun dengan tangan bertumpu pada lutut. "Tinggal ngambil mobil aja apa susahnya, sih? Masukin kunci, jalanin mobil, udah gitu, doang. Kenapa sampe lama bener begini?"
Cia mengendikkan bahunya. "Mungkin ada sesuatu kali," sahutnya.
Kemudian, Kezia menoleh dengan tampang bingung, "Sesuatu yang lo maksud Dava?"
"Mungkin. Asal nebak aja, sih gue,"
"Yailah."
Ketika menoleh ke sebelah kanan, dimana lobby yang terhubung dengan koridor loker, Cia melihat gerombolan tukang rusuh kelasnya sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Di detik itu juga, Cia kembali mengingat ucapan Dara, pagi tadi. Ia berinisiatif menanyakan perihal ketidakhadiran Arya semata-mata untuk meluruskan masalahnya. Bukan hal yang lain.
"Eh, eh, eh!" Gadis dengan rambut sebahu itu mencegat beberapa lelaki yang saling bercanda. Lelaki tersebut mengalihkan perhatiannya kepada gadis itu dan tersenyum jenaka.