We Meet Again

305 32 9
                                        

Janhvi;

Izinkan aku menjadi Raj-mu.

Permintaan Vishal kemarin malam benar-benar menggangguku. Hingga pagi aku belum juga bisa terlelap, hanya karena kalimat yang terus menggema di sekitarku itu. Bagaimana ini bisa terjadi? Vishal memintaku-ah ya ampun. Kuharap aku salah dengar atau aku ingin bermimpi saja. Ya, aku ingin semua yang dikatakan Vishal padaku hanya mimpi belaka, Namun bagaimana aku bisa bermimpi jika aku belum juga tidur?

Izinkan aku menjadi Raj-mu.

Aarrgghh!

Aku mengaca-acak rambutku, berharap waktu dapat berputar lebih cepat dari biasanya. Dengan begitu kebimbangan ini dapat segera berakhir. Bagaimana aku tidak bimbang saat Vishal berkata seperti itu, padaku. Dia memintaku untuk mengizinkannya menjadi Raj-ku, yang itu artinya dia ingin bersamaku? Bagaimana ini bisa terjadi? Sejak kapan Vishal memiliki keinginan itu? Apa selama di Swiss dia sudah memilikinya? Dia juga sempat berkata kalau aku adalah alasannya kembali ke India. Apa ini tidak terlalu berlebihan? Bagaimana mungkin aku bisa membuatnya kembali sementara kami hanya bersama dalam dua hari saja. Kurasa aku akan gila jika mengkajinya.

Ponselku berbunyi, Rohit menghubungiku. Mungkin perihal pekerjaan. Sejak pulang dari Swiss aku memang tidak melakukan apapun selain menyendiri di apartemen baruku ini. Rohit bilang, Double J sengaja hiatus untuk melihat respon pendukung kami sehingga ketika Double J muncul lagi kami akan disambut dengan meriah. Kuharap memang seperti itu.

"Janhvi, kau ingat meeting dengan Kiran hari ini? Kuharap kau tidak melupakannya. Kutunggu jam 3 sore ini."

Tunggu dulu. Apa Rohit menyinggung soal Double J? Itu artinya aku akan bertemu dengan Jigar? Aku akan bertemu dengannya sebelum kukatakan tujuanku? Ah sial! Mengapa pikiranku jadi semakin kacau begini?

Aarrrgghhh!

Sesuai intruksi, aku datang ke kantor TV yang menayangkan acara Kiran sekitar pukul 3 kurang lima menit. Rohit sudah ada di lobi, menungguku. Dia hanya sendirian, membuatku harus meliarkan pandangan untuk mencari sosok yang selama ini kuhindari.

"Janhvi, kau datang sendiri?"

Aku tersentak.

"Kupikir kau datang bersama Jigar."

Aku mengulum kedua bibirku. Tidak tahu memberi alasan apa padanya.

"Kiran sudah menunggu kita," Rohit mengambil ponselnya, "kemana Jigar? Mengapa belum sampai?"

Aku menunduk saja. Tidak tahu harus bagaimana? Apa aku harus berpura-pura menghubungi Jigar untuk membuat Rohit tidak curiga?

"Janhvi apa kau sudah menghubungi Jigar?"

Aku terdiam.

"Janhvi,"

Aku tersentak. "M-mungkin sebentar lagi dia sampai. Tenanglah Rohit,"

Rohit masih mencoba menghubungi Jigar yang tak kunjung menerima panggilan darinya. Entahlah. Aku juga tidak begitu yakin Jigar bersedia datang hari ini. Aku juga sempat ragu, apakah Jigar setuju mengenai profesional kerja yang sampai detik ini belum kusampaikan padanya. Aku baru berencana mengatakannya hari ini. Kuharap aku tidak terlambat, dan Jigar setuju dengan keputusan yang sudah kupikirkan dengan sangat matang ini. Meskipun sebenarnya hatiku sangat berat, aku tetap harus melakukannya.

"Rohit!"

Untuk beberapa saat aku tercekat. Kakiku seperti ada yang menahan sehingga aku tidak bisa bergerak meski hanya sedikit. Panggilan itu membuatku mati kutu. Seorang yang baru saja kupikirkan kini hadir di hadapanku dengan senyum yang sangat kurindukan.

SANAM RETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang