It's Not Right

502 28 8
                                    

Janhvi;

Kereta dari Bern tiba di Zurich pukul 5 kurang 15 menit, aku dan Vishal buru-buru meninggalkan stasiun untuk meneruskan misi yang tak kunjung berhasil. Jarak kota tua-tempat dimana aku bertemu Jigar, tidak seberapa jauh dari stasiun sehingga kami lebih senang mengandalkan kedua kaki dibanding menunggu dan menggunakan trem untuk sampai ke sana.

Kota tua masih sama seperti sebelumnya. Selalu ada lalu lalang pengunjung, baik turis luar negeri maupun penduduk lokal yang menjalani hari-harinya. Musisi jalan yang waktu itu didoktrin Jigar dengan lagu dari salah satu film besutan Karan Johar juga masih berada di tempat yang sama. Aku langsung mendekati, berharap ada Jigar diantara segelintir pengunjung.

Setelah memastikan tidak ada Jigar diantara mereka, aku mendekati salah satu dari musisi jalanan yang memegang saksofon. Aku bertanya kepadanya dengan bahasa inggris namun dia-musisi itu tidak begitu mengerti. Vishal sampai turun tangan. Dia mengulang pertanyaanku dalam bahasa Jerman dan jawaban dari pertanyaanku hanya sebuah gelengan.

Ada dua pilihan. Pertama, musisi itu tidak ingat kejadian dua hari yang lalu. Dan pilihan kedua dari arti gelengannya itu, Jigar tidak pernah ke sini. Dan kedua jawaban itu membuatku hampir gila.

Aku memijat pelipisku. Ada rasa yang sedikit menyiksa di sana.
"Janhvi, kau tidak apa-apa?"
Aku mendongak, "tidak." Tidak akan terjadi apa-apa pada diriku sampai kutemukan Jigar. Dan jawaban yang kuberikan pada Vishal tertuju untuk diriku sebenarnya.

"Kau yakin ingin melanjutkan?"
Rasa nyeri di dalam kepalaku tidak mau pergi, malah semakin menyiksa. Aku hampir tidak kuat tapi aku harus tetap berdiri tegak. Aku harus tetap mencari Jigar.

"Janhvi,"

Suara panggilan Vishal seperti badai yang menerjangku. Terjadi lagi. Tiba-tiba aku ambruk. Kedua lututku mencium aspal. Aku tidak kuat.

"Janhvi, kakimu kram lagi?"
Aku berusaha berdiri. Tetapi pusing di kepalaku terus menggerogoti. Sakit sekali.

"Janhvi," Vishal memegang sebelah lenganku, memapahku berjalan. "Kita akan lanjutkan ini setelah keadaanmu benar-benar baik. Katakan padaku, di hotel mana kau menginap? Aku akan mengantarmu."

"Tidak, Vishal. Kakiku tidak kram. Ayo jalan,"

"Janhvi, kau tidak baik-baik saja. Lebih baik kita menunda-"

"Aku tetap ingin mencari Jigar." Selaku.

"Tidak boleh!"

Aku melihat kedua matanya melotot ke arahku. Aku terisak. Mengapa harus Vishal yang berlaku padaku seperti ini?
Terakhir kali melihat tatapan serupa, aku sedang berhadapan dengan Jigar. Waktu itu, malam-malam menuju grand final 'Dance From Heart'. Aku dan Jigar berlatih keras. Siang dan malam serupa tak ada bedanya bagiku. Kami harus tetap berlatih dan berlatih meskipun pelatih sudah mengatakan gerakan kami perfect. Latihan yang terlalu keras tersebut membuat tubuhku kurang fit. Di saat berlatih tiba-tiba kakiku kram dan aku terjatuh karena tidak berhasil menahan tubuhku sendiri. Aku memaksa, ingin terus berlatih. Tidak kuacuhkan peringatan Jigar dan terus memaksanya untuk latihan. Dan Jigar tidak pernah mengindahkan sangkalanku. Dia menaikkan nada suaranya, membolakan matanya lebar dan melarangku berlatih dengan keras.

"Mungkin aku tidak berhak melarangmu, tetapi aku tetap harus melarangmu Janhvi. Keadaanmu ini akan semakin memburuk jika kau terus memaksakannya. Katakan padaku, di mana kau menginap. Aku akan mengantarkanmu. Paling tidak sampai besok. Kau harus beristirahat. Aku akan menunggumu dan tetap akan bersamamu sampai Jigar ditemukan!"

Aku semakin merindukanmu, Jigar.

***

Jigar;

SANAM RETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang