Bab Dua

1.3K 98 23
                                    

SATU tepukan menyadari Zeenda dari bermenung. Gadis itu menoleh, Alina sudah memasang raut bingungnya. "Kenapa bengong? Kesambet, loh."

Mendengarnya, ia mengerucutkan bibir. Mulai lagi membawa nuansa yang kental dengan Indonesia.

"Je, itu Ustad Raffi!" Seruan Viara membuat Zeenda menoleh, mendapati guru bahasa Indonesia--Raffi--kembali melanjutkan obrolan dengan Arfan, setelah tadi sempat diinterupsi adegan jatuhnya Zeenda dan kawan-kawan.

Ragu, Zeenda pun menggeleng. "Nanti aja, deh."

"Loh, kenapa? Udah keburu sampe sini, masa nggak jadi?" Alina memiringkan kepala.

Terpaksa ia menuju Raffi dengan langkah yang gamang. Keduanya menyadari langkah Zeenda yang semakin dekat. Mereka berdua menoleh, Raffi tersenyum sedangkan Arfan hanya menatapnya.

"Sudah, Neng?"

Zeenda menelan ludahnya gugup dan mengangguk seadanya. "Sesuai permintaan Ustad."

Raffi tersenyum simpul. "Syukron katsiron."

Zeenda kembali mengangguk, segera ia mengambil langkah seribu untuk pergi tapi tertahan karena panggilan Raffi. Gadis itu berbalik, memandangi sang guru yang merangkul Arfan.

"Sebentar lagi ada acara tujuh belasan, saya mohon sama kamu Zeenda, kamu pintar dalam membuat naskah. Jadi tolong buatkan naskah drama tentang kemerdekaan, ya!" Senyuman Raffi mengundang diri Zeenda untuk terkejut begitu mendengar titah sang guru. "Sebagai nilai bonus untuk ulangan tengah semester nanti dan saya mendedikasikan kamu sebagai sutradaranya."

"Maaf?!"

Raffi tersenyum lebar ketika Zeenda melongo lalu pria itu menoleh pada Arfan lantas segera menyenggolnya. "Kamu Arfan, saya percayakan kamu menjadi asisten sutradara."

Asli....

Ini gila!

Zeenda ingin membenturkan kepalanya ke dinding. Bahkan jika disuruh pilih untuk menjadi sutradara dan Arfan menjadi asistennya dengan diciumi terus menerus oleh Alina selama seminggu ke depan, mungkin ia akan memilih opsi kedua.

"Tapi Ustad, Kak Arfan itu 'kan kakak kelas saya, kenapa dijadikan asisten? Nggak enak. Kesannya gimana gitu." Zeenda berusaha menolak meski hatinya berjoget ria kegirangan.

"Masalah tingkatan kelas bukanlah problem yang berat. Intinya kamu harus pikirkan bagaimana caranya agar naskah tersebut siap dalam satu minggu." Raffi menantang.

"Bukan begitu, atas izin Allah saya bisa saja memberikan naskahnya dalam waktu satu minggu tapi jangan buat saya menjadi sutradara." Ia tetap kukuh untuk menolak.

Sepertinya perdebatan antara guru dan murid ini memancing ketiga sahabatnya untuk mendekat. Sedangkan Arfan terlihat risih, sebab Raffi tak kunjung melepaskan rangkulannya.

Jantung Arfan berdetak begitu kencang kala melihat gadis yang telah mencuri hatinya sejak naik ke kelas dua belas ini. Tepatnya saat masa orientasi siswa. Pandangannya tidak bisa dialihkan dari wajah Zeenda yang fokus. Memar di keningnya mulai tersamar. Andai Arfan bisa mengobati memar itu, nyatanya ia belum bisa.

"Ada apa, Ustad? Kok, terdengar ribut?" Rantika bertanya dengan sopan.

"Ah, karena ada teman kamu, saya ingin bertanya. Apa kalian setuju kalau Zeenda sebagai sutradara untuk drama kemerdekaan dari sekolah kita?" Raffi bersuara, melupakan Arfan yang tidak hentinya memandangi Zeenda.

Ketiga gadis itu saling berpandangan dengan ekspresi bingung.

"Loh, bagus, dong. Barangkali jadi pengalaman baru untuk kamu. Terus masalahnya apa?" Memandangi Zeenda, ketiganya mencium bau yang tidak beres.

"Tidak ada masalah. Hanya Zeenda menolak Arfan sebagai asistennya." Suara Raffi terdengar begitu enteng. Tidak menyadari perubahan ketiga gadis di hadapannya.

Terkejut pastinya. Sebagai sahabat, tentu mereka tahu bahwa Zeenda menyukai Arfan dalam tempo dua bulan ini. Arfan tipe yang cukup pendiam dan bagaimana mungkin Zeenda kuat menahan pacuan jantungnya dengan keterlibatan Arfan dalam bidang kesukaan Zeenda.

"Oh, gitu...." Alina melepaskan kecanggungan yang tercipta. "Bagus, saya setuju sama Ustad!"

Alina menyengir, berusaha netralisir ketegangan, sedangkan Zeenda hampir pingsan mendengar semuanya.

"Tapi apa Kak Arfan mau?" Mengalah, Zeenda bertanya dengan ragu. Takut kalau Arfan tidak setuju, mengingat bagaimana sifatnya terhadap lawan jenis. Monoton.

Raffi tertawa lebar. "Bagaimana, Nak?"

"Aku ikut apa perintah Abi saja." Keputusan Arfan menguar. Sangat sukses membuat keempat gadis tersebut hampir ambruk ke lantai.

Jadi Arfan anaknya Raffi?

Demi apa pun yang hidup, katakan bahwa ini hanya ilusi belaka. Pasalnya, dalam dua bulan menduduki bangku SMA, Zeenda sangat dekat dengan Raffi. Mengingat ia yang menyukai sastra dan pria itu sebagai guru bahasanya.

Bagi banyak orang itu adalah sebuah keberuntungan tapi menurut Zeenda ini adalah pertanda bahwa Allah tidak menyukai dirinya.

'Allah, ighfirliy....' Batin Zeenda berteriak, takut jika memang pemikirannya memiliki kebenaran.

"Oke, Nak. Baik-baik sama Zeenda, sekarang dia jadi atasan kamu, kan." Raffi menepuk bahu Arfan beberapa kali.

"Syukron katsiron, Abi. Adit bakal berusaha semaksimal mungkin, insya Allah." Arfan tersenyum lebar hingga menampakkan gigi gerahamnya, dalam hati ia sangat berterima kasih pada sang ayah yang mau membantunya untuk mengenal Zeenda lebih dekat.

Rasa bahagia yang membuncah membuat kepalanya memutar kilas balik saat lelaki itu pertama kali melihat Zeenda. Ia kagum. Karena dengan lantangnya, gadis itu menyuarakan pendapat mengenai senioritas yang terjadi di sekolah lain. Ia mengharapkan bahwa lembaga pendidikan ini tidak membiarkan hal itu terjadi. Mengingat di sini sangat menjunjung nilai keislaman. Segala perintah yang berbau pemaksaan sama dengan penjajahan. Tentu, harga diri tidak termasuk dalam barang jarahan. Kehidupan ini berkaitan erat dengan hak asasi yang tidak boleh dilanggar.

Melanggar?

Sel menantimu dengan suasana Neraka.

Sebut saja gadis itu wujud nyata dari segala majas yang ada. Sarkasme sampai hiperbola. Apa yang ada pada diri gadis itu merupakan naturalisasi yang menambah warna baru pada SMA mereka.

Sedangkan dari posisi yang menjadi pelaku bayang-bayang pemikiran Arfan, melihat padanya. Pandangan mereka bertemu tapi benak mereka terbang entah ke mana.

Jantung Zeenda berdebar melebihi logika. Gadis itu sudah tidak mempedulikan lagi bagaimana rona wajahnya sekarang, bagaimana hebatnya getaran di setiap anggota tubuhnya, bagaimana cara bersikap kembali normal dan bagaimana kakinya mampu menyangga tubuh yang sudah kehilangan akal waras hanya karena incaran asmara.

Satu hal yang ada dalam pikiran. Zeenda tetap bersyukur masih diberi otak untuk berpikir solusi dari setiap bagaimana yang terdampar di pikirannya.

*****
• bertalian •

FaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang