"TOLONG jangan kekanakkan. Kau sudah kelas dua belas!" Nada bicara Arfan mulai meninggi, emosinya meningkat sejak gadis di hadapannya mulai menampakkan diri.
"Jadi niat Adit ngasih Rani lagu itu apa?" Air mata sudah menggenang di pelupuk, siap untuk menumpahkan diri.
"Ada atau tidak adanya alasan, bukan berarti harapanku masih sama seperti dulu," Arfan memalingkan wajah begitu air mata Khairani sudah merembes. "Jangan mudah membawa perasaanmu jika kau tidak mau terhempas jauh."
Khairani menggeram, ia merasa dipermainkan dengan lelaki di hadapannya.
"Mengertilah bahwa kita tidak pernah selaras. Hubungan ini ada karena ayahku yang kagum dengan dirimu yang hafal Al-Qur'an. Tapi siapa yang mematahkan kekaguman beliau padamu?" Arfan menunduk karena Khairani yang hanya sebatas dadanya saja.
"Kalau Adit mau diajak kerja sama, hubungan ini nggak mungkin selesai gitu aja!" Khairani menyeka air matanya dengan kasar.
"Kau pikir aku lelaki macam apa yang menurut saja dan memakai topeng setiap hari?"
"Adit jahat!"
"Katakanlah hal buruk padaku jika itu membuatmu puas."
"Siapa cewek itu?"
Arfan menegang, pertanyaan Khairani memiliki makna tersirat yang mengganggunya. Tersadar dari sikapnya yang ganjil, lelaki itu kembali memanipulasi ekspresi. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Kembali menunduk, namun bibirnya dia dekatkan pada telinga Khairani. "Zeenda."
"Dia?!" Khairani terbelalak tidak percaya. "Mana mungkin!"
"Mungkin saja."
"Tapi dia masih bocah, Dit."
"Dia calonku."
Khairani menggigit bibir bawah, ia menundukkan wajah karena air matanya sudah merembes.
"Aku hanya minta supaya kau tidak mendekatiku. Lagi. Di mana pun, kapan pun atau dengan alasan apa pun. Kita benar-benar sudah selesai."
"Aku. Benci. Kamu. Adit." Napas Khairani tersendat karena tersengguk akibat menangis tertahan.
Arfan menghela napas, ia mengambil kain sutra dari dalam sakunya, biasanya kain itu dia pakai untuk mengelap keringat pada wajah. Lelaki itu menyerahkannya pada Khairani.
"Hapus air matamu. Aku tidak pantas kau tangisi."
Khairani menyentak tangan Arfan sampai kain itu jatuh. "Rani nggak butuh!" Lantas tubuh gadis itu berbalik menuju lawan arah, masih dengan sesenggukan.
Arfan hanya mampu beristigfar. Sejenak, bebannya dalam hati mulai terangkat secara perlahan. Pikirannya langsung menuju pada Zeenda. Gadis itu pasti kecewa.
Percaya diri sekali kamu, Arfan. Otaknya menasihati diri sendiri.
Lelaki itu harus cepat-cepat bertemu Zeenda supaya ia bisa memastikan bahwa gadis itu tidak tenggelam dalam kecewa. Sebab Arfan paham, kondisi hati Zeenda masih dalam mode labil, sedewasa apa pun seorang remaja.
Sedangkan dari jarak Arfan sekarang, sekitar beberapa ratus meter dengan perbedaan waktu, Zeenda masih berkutat dengan air mata yang terus menerus terjatuh melalui pipi mulusnya. Seandainya Arfan di sini pasti lelaki itu yang menghapusnya tapi fakta yang menyakitkan adalah lelaki itu lah yang menyebabkan air mata ini terjatuh.
"Allah, bantu aku menyelaraskan ini semua."
Zeenda tidak ingin menyerah. Gadis itu akan berusaha tetap bangkit walau ia tak sanggup sekali pun, karena ia tahu Allah bersamanya di mana pun dirinya berada. Untuk mengakhirkan malam yang tenang ini, Zeenda bersujud padaNya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Faal
SpiritualArfan itu nampak sempurna di mata semua kaum hawa, tak terkecuali Zeenda yang sudah menumbuhkan perasaan di dadanya secara diam-diam. Yang bikin syok adalah ketika alam semesta seolah mendukung afeksinya sampai Arfan juga melirik pada Zeenda da...