Bab Sepuluh

720 65 8
                                    

"JE, kamu seriusan mau nikah?"

Zeenda mendengus sebal ketika kakaknya bertanya hal yang sama sejak beberapa menit lalu.

"Udah aku bilang, Uda liat aja nanti."

"Tapi apa kamu tega ngeduluin Uda?"

"Aku 'kan nggak ngapa-ngapain Uda, kenapa harus tega?" Zeenda mengulum senyum geli.

"Kamu ngeduluin, Uda 'kan belum punya calon untuk Uda lamar." Syamsul menghela napas pelan.

"Uda, nikah itu bukan soal status dan umur, nikah juga bukan soal mendahulukan kakak sendiri, atau berkompetisi siapa yang paling cepat menikah tapi nikah itu sunah Nabi yang harus kita ikutin." Gadis itu menatap sang kakak begitu lama dan dalam. Sungguh, gadis itu tidak ingin kakak tersayangnya merasa terluka, apa lagi karena dirinya.

"Uda, jodoh nggak akan ke mana. Walau pun Uda mau merengek-rengek, nangis sekencang apapun, kalo emang belum waktunya, Allah nggak akan ngasih. Sekarang kita kembali belajar dari pengalaman Jeje, rezeki, maut, dan juga jodoh ada di tangan Allah. Allah udah nulis semuanya di lauhul mahfudz. Nah, semuanya 'kan udah di urus sama Allah sejak sebelum kita lahir, kenapa Uda masih pusing mikirin jodoh?"

Syamsul menimang perkataan Zeenda, agak menohok ulu hati terdalam Syamsul. Tapi ada benarnya juga. Pikir pria itu.

"Uda, satu aja pesan Jeje. Kalo Uda suka sama seorang gadis, Uda harus berani datengin walinya, kalo Uda belum siap, coba Uda puasa. Puasa itu bisa menekan setan yang ada di dalam aliran darah."

Mendengar nasihat sang adik, ia menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan secara perlahan. "Bagaimana bisa adik Uda sendiri ilmunya lebih tinggi?" Seketika tawa Syamsul berderai, matanya yang sipit semakin tak terlihat saat kedua pipi tegas Syamsul terangkat. Gadis di hadapannya hanya tersenyum manis.

"Uda, ilmu Jeje belum apa-apa, kok. Zeenda masih harus banyak belajar tapi kalo kata guru Jeje, jangan melihat siapa yang memberikan nasihat tetapi lihat apa nasihatnya.'"

"Alhamdulillah, dapet pencerahan gratis dari adik tercinta." Syamsul memeluk Zeenda, gadis itu balas memeluk. Keduanya bersyukur karena diciptakan sebagai kakak-adik. Mereka hanya berharap bahwa tali persaudaraan ini akan kekal hingga ke Surga nanti.

***

"Kamu berhutang penjelasan pada kami!" Rantika langsung heboh.

Walau pun ketiga sahabatnya tahu kalau Zeenda menyukai Arfan dan dekat dengan Raffi, mereka belum mengetahui tentang lamaran dari incaran asmara Zeenda, bahkan mereka tahu karena mendengar gosip dari kelas sebelah.

Meringis saat pandangan menuntut dari ketiga sababatnya menusuk tepat pada pandangan.

Bagaimana bisa ketiga sahabatnya tahu?

Pasti karena ada salah satu bibir yang menyebarnya.

Ia menatap ketiga sahabatnya nanar. "Bisa nggak jangan sekarang?" Tanyanya pelan.

"Harus sekarang!" Tegas mereka secara bersamaan.

Zeenda memejamkan matanya dan menghela napas secara perlahan. Gadis itu mulai bercerita. Dari mulai kedatangannya ke rumah Arfan, hingga kedatangan Syamsul yang membuat semuanya tertunda.

"Jadi gitu." Ia menatap ketiganya dengan memelas. "Maaf kalo aku sempet bohong sama kalian. Aku takut pandangan orang ke aku nanti gimana." Gadis itu menunduk, ketiga sahabatnya saling pandang secara bergantian.

"Ya Allah, Je, kenapa pikiran kamu sampe ke situ? Kita aja nggak mikir apa-apa. Malah kita seneng ngedenger kamu di lamar sama Kak Arfan." Viara menyengir.

Zeenda mendengus. "Kalian tau sendiri pikiran orang zaman selalu su'udzon, padahal mereka nggak tahu aslinya seperti apa."

"Ada Zeenda nggak?"

Di saat keempatnya asyik berbincang, seorang gadis memasuki kelasnya. Dia sekretaris di kelas ini--Syifa. Zeenda mengangkat tangan, seketika raut wajah Syifa sumringah. "Ada cogan nyariin kamu."

Meski bingung, gadis itu memutuskan menemui cogan yang dimaksud Syifa.

"Uda Syam?" Zeenda mengerutkan keningnya, langkahnya berhenti karena seorang pria bertubuh tegap memandanginya dengan serius. "Ngapain di sini?"

"Arfan mau menjalani tes keduanya. Ayo, kamu ikut Uda!"

"Bukannya Ahad? Lagian aku masih dalam jam sekolah."

"Arfan siapnya sekarang dan kamu izin aja, cuman di aula doang." Syamsul mendekati Zeenda dan meraih pergelangan tangannya.

"Zeenda!"

Merasa dipanggil namanya, gadis itu menoleh, pelakunya adalah Viara, Rantika dan Alina.

"Kalian? Ngapain ke sini?" Tanya Zeenda bingung.

"Kita cuman pengen memastikan kalo coga--eh, maksudnya kalo kamu itu nggak kenapa-napa." Alina menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan tertutup kerudung sekolah.

"Itu siapa?" Syamsul menaikkan salah satu alisnya, Zeenda menoleh padanya.

"Sahabat Jeje."

"Ajak aja mereka."

Mendapat pencerahan, Zeenda pun mengangguk. Lalu gadis itu menghampiri ketiga sahabatnya dan menarik tubuh mereka agar mendekat ke arah Syamsul. "Ayo, kalian ikut aku!"

***

Begitu tiba di aula, semuanya dihadiahi tatapan bingung Arfan. Lelaki itu menambatkan matanya pada Zeenda.

"Mereka...." Ucapan Arfan tergantung, matanya kini beralih tatap pada ketiga sahabat Zeenda.

Merasa paham, Zeenda pun tersenyum menenangkan. "Mereka ikut nggak apa-apa 'kan, Kak? Insya Allah nggak ganggu."

Terdiam sebentar, Arfan akhirnya mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Bukannya apa-apa, hanya saja ia mendadak gugup sangat, sebisa mungkin lelaki itu menormalkan debaran jantungnya.

"Bismillahiraahmanirrahim. Innallaha wamalaa ikatahuu yushollunna 'alannabiy. Yaa ayyuhalladzi na'amanu sholu alaihi wassalimu taslima. Allahuma sholli wassalim, wabarik alaih...."

Arfan tersenyum, menarik napasnya, lalu memulai bait pertama.

Zeenda menegang.

Selawat ini yang memiliki makna mendalam bagi Zeenda sejak awal mendengarnya di acara maulid nabi. Gadis itu seketika rileks dan menikmati suara Arfan yang menyejukkan hati. Bahkan Syamsul dan ketiga sahabatnya memejamkan mata. Seketika angin menerpa kelimanya, menambah kesan sejuk pada diri mereka masing-masing.

Wallahi, jika ada yang bertanya pada Zeenda, apa hal yang paling membuatnya terkesan sepanjang hidup. Maka jawabannya adalah lelaki yang sedang melantunkan selawat di hadapannya.

Arfan tersenyum manis pada Zeenda ketika selesai, napas lelaki itu pendek-pendek karena saat memulai bait pertama dia memakai nada tinggi.

"Masya Allah, suara kamu bagus. Saya sampai merinding mendengarnya."

Arfan kembali tersenyum.

"Je, terima aja lamaran Kak Arfan. Aku kalo jadi kamu udah nerima lamarannya dari kapan tau." Alina bersuara dengan nada rendah, dan mendapat anggukan dari Viara juga Rantika.

"Bener, Je. Insya Allah kalo nerima Arfan, berkah dunia dan akhirat." Viara tersenyum.

Sedangkan Zeenda hanya tertawa renyah. "Tanpa kalian suruh."

Besok, gadis itu akan mendatangi kediaman keluarga Ustad Raffi. Kasihan mereka telah menunggu jawabannya sejak lama. Terlebih ditambah drama yang dibuat kakaknya ini.

Akhirnya, penantian panjang terbalaskan dengan takdir yang indah. Begitulah kekuatan doa. Doa dapat mengubah segalanya tapi apa pun itu, Zeenda hanya berharap bahwa takdir tidak akan mengkhianatinya.

*****
• bertalian •

FaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang