Bab Sembilan Belas

525 43 1
                                    

TUBUH lelaki itu mematung saat mendapati mantan calonnya berdiri di hadapannya. Berdeham untuk menyadari diri, Arfan pun mempersilahkan Khairani dan satu wanita yang bersamanya untuk masuk ke dalam rumah.

Melihat siapa yang masuk, Raffi dan Sarah terbelalak kaget. Bukan terkejut karena Khairani, keduanya justru hanya fokus pada wanita yang bersama gadis itu.

"Eva?!" Yang tak bisa menahan diri saking tercengangnya adalah Sarah.

"Sudah lama tidak berjumpa, Sarah, Raffi." Eva membalas dengan bahasa Arab. Tampilannya pun begitu berbeda saat masih SMA dulu. Eva identik dengan pakaian ketat dan terbuka, sejak desas-desus yang buruk mengenainya tersebar, baik Sarah atau Raffi tidak pernah lagi mendengar kabarnya.

"Kamu tinggal di Mesir juga, Va?" Sarah terharu karena kembali dapat kesempatan melihat sahabat semasa SMA yang sudah lama tak berjumpa.

Eva mengangguk, senyumnya mengembang. Ia merentangkan tangan untuk memeluk Sarah. "Aku kangen." Air matanya sudah tidak bisa ditahan.

Keduanya menangis karena melepas rindu. Sudah bertahun-tahun terlewat sejak mimpi kelam Eva, ia sama sekali menahan diri untuk tidak menjumpai Sarah. Ia takut dosanya ini malah menarik sahabatnya juga.

***

"Bagaimana soal Raffi? Tidak ada kabar?" Ishak mulai memijati keningnya. Kehilangan mangsa membuatnya gerah. Bahkan untuk mengutus Firdaus ke kediaman Raffi saja percuma, rumah itu kosong.

"Aku berusaha mengecek akun sosial media Arfan dan Alarya. Mereka sama sekali tidak membuat status atau mengunggah." Firdaus berujar tanpa melepaskan pandangan dari layar ponselnya. "Terakhir aktivitas mereka adalah dua hari sebelum hari itu."

"Sepertinya Arfan dan Alarya dilarang Raffi untuk mengaktifkan ponselnya. Kita didului. Aku rasa mereka sedang mengungsi entah ke mana."

"Coba kau serahkan padaku." Firdaus mulai sibuk untuk menghubungi nomor seseorang. Banyaknya bawahan, memudahkan Firdaus untuk melacak keberadaan Raffi.

Jika saja ada yang bertanya, mengapa tidak dari kemarin saja ia mencari. Jawabannya adalah ia tidak akan melakukan sesuatu tanpa persetujuan Ishak. Kebetulan saat ini, Ishak menyindir hal itu, Firdaus pun mulai angkat suara.

Kalau ingin memaki bodoh, Ishak adalah orang yang paling tepat diberi sebutan itu.

Setelah berkutat dengan banyaknya nomor untuk diberi tugas, tak lama ponsel Firdaus mulai berisik karena notifikasi masuk secara keroyokan. Membaca dengan teliti, satu kesimpulan membuat senyum getir Firdaus timbul.

"Kau tidak akan percaya, Ishak." Masih dengan senyum, Firdaus menyerahkan ponsel pada rekan kejahatannya itu.

Pandangan Ishak mulai terfokus, hingga sinyal terkirim pada otaknya saat ia selesai membaca. "Kita berangkat ke Mesir sekarang juga."

Firdaus yang melihat gelagat Ishak hanya bisa terkekeh geli. "Kau terlalu terburu-buru. Bukankah kau tahu Eva juga sekarang menetap di Mesir? Kau sudah mempersiapkan diri jika bertemu dengannya?"

"Bertemu dengan Eva? Hanya mustahil yang ada. Sudah, ayo kita berangkat." Ishak sudah menghilang untuk menyiapkan keperluannya.

Firdaus malah masih sibuk terkekeh. Ia tak menyangka Ishak akan sebegitu berusahanya untuk menjatuhkan Raffi.

Kawan satu regu mereka saat masih SMA dulu.

"Dan kau sudah lupa tentang nama baikmu di Mesir, Ishak."

***

"Rani berhenti sekolah karena keputusan Rani, Adit." Khairani memeras kedua tangannya. Ia teringat saat dirinya diasingkan di rumah Firdaus. Bahkan untuk menjenguk atau bertanya kabar saja, Khairani tak pernah mendapatkan itu dari Ishak.

FaalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang